Klik disini untuk melihat judul cerita yang akan segera terbit !!
Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 17 Agustus 2014

Berawal Dari Kolam Renang

Bagikan :

Aku menulis hanya dari pengalaman yang unik. Kisah ini seperti dibuat-buat, karena kejadiannya biasanya hanya kita baca dan itupun kejadiannya di dunia barat.
Namun, aku mengalaminya di Indonesia. Sesuatu yang mustahil terjadi di sini, tetapi aku telah mengalaminya.


Sore ini aku tidak ada acara setelah 3 hari yang melelahkan. Aku memutuskan turun ke swimming pool untuk mengendorkan ketegangan. Hotel tempatku menginap ini termasuk yang terbaik di sini. Ketika kuintip dari jendela, pool belum cukup ramai. Mungkin karena sekarang baru jam 3 sore dan ini bukan hari libur.

Sebelum terjun aku melakukan pemanasan dulu. Aku masih mampu berenang bolak balik 200 m tanpa henti. Badanku segar, meski nafas ku tersengal-sengal.

Aku beristirahat sambil merendam tubuhku di dalam air. Kolam renang ini kelihatanya sepi sekali. Hanya ada seorang anak perempuan yang berendam di kolam.

Dia kelihatannya memperhatikan aku ketika aku melakukan rally 200 m, tadi.

“Oom kuat bener berenangnya, oom perenang ya,” tegur gadis kecil yang mendekatiku.

“Dulu waktu masih sekolah pernah juara renang se provinsi, tapi sekarang udah gak lagi, Cuma olahraga aja kok dik. Adi sama siapa,” tanyaku.

“Sama mama itu sedang duduk di sana,” katanya sambil memalingkan mukanya kearah ibunya.

“Mas kuat sekali renangnya,” tegur mamanya yang datang mendekat ketika aku sedang ngobrol.

“Ah biasa aja mbak,” jawabku sopan. Sesosok wanita yang kutaksir berumur sekitar 30 lebih, tapi wajahnya cantik dan posturnya masih singset. Kelihatannya dia keturunan China. Dia mengenakan pakaian renang tetapi bagian bawahnya ditutup dengan handuk.

“Ayo mbak berenang, kalau kelamaan diatas nanti bisa masuk angin lho, “ujarku setengah menggoda.

Wow bodynya putih, ketika sekelebat terlihat sesaat handuknya dibuka. Dia lalu perlahan-lahan melorot ke kolam renang. “ Aku gak bisa berenang, tapi pengen bisa,” katanya.

Kami terlibat obrolan santai sambil berendam di tepi kolam. Aku tidak berani menggoda dan berusaha bertutur dengan kata-kata yang sopan. Bukannya aku tidak berminat, tetapi aku segan menggodanya, sebab ada anaknya yang manis selalu nimbrung ngobrol.

Mulanya Novi begitu anak manis yang kutaksir baru berusia 11 tahun itu minta diajari berenang.

Dia kuajari melakukan gerakan kaki sambil tangannya berpegang ke bibir kolam renang. Ibunya ikut-ikutan melakukan gerakan seperti yang kuajarkan pada anaknya. Ketika Novi kuminta mengikuti gerakan kakiku gerakan kaki katak, dia agak bingung mengkoordinasikan kayuhan kakinya.

Oleh karenanya aku jadi memegang kedua ujung kaki Novi dan menggerakkan sesuai yang kumau. Setelah dia mendapat tahu caranya dia kuminta terus berlatih sampai gerakannya lemas. Eh lha dhalah, mamanya ikut pula minta dilatih kakinya. Dengan sabar kuajarkan gerakan itu sambil melakukannya perlahan-lahan. Setelah kulepas dia bisa , tetapi kemudian kacau lagi. Aku jadi memegang lagi ujung kakinya dan mengulangi gerakan kaki katak. Kaki Jeanet, begitu nama si mama memang agak kaku. Berkali-kali aku harus membimbing gerakan kakinya sampai dia memahami irama gerakannya.

Kedua mereka lalu berlatih sambil berpegangan di pinggir kolam.

“Oom kaki udah bisa nih, terus gerakan tangannya gimana,” tanya Novi.

Aku terkesiap. Untuk melatih gerakan tangan, aku kan harus memegang bagian depan tubuhnya dan mengangkatnya di apungkan ke air. Aku menyarankan agar mamanya yang memegang dan mengapungkannya, dan aku memberi contoh gerakan tangannya.

“Ah mama gak bisa Nov, minta Oom aja yang megangin, mama juga ingin diajari koq,” kata mamanya.

Dengan perasaan agak canggung dan berpikir keras, aku terpaksa menerima permintaan Novi. Masalahnya aku harus menopang bagian mana agar jangan menyentuh bagian vital. Tapi rasanya gak mungkin mengangangkat Novi tanpa menyentuh bagian vitalnya di atas dan di bawah. Aku memutuskan merentang tanganku dengan posisi telapak tangan menghadap ke bawah. Aku bukan tidak mau menyentuh, tetapi aku lebih memilih agar tidak dituduh kurang ajar.

Posisi tanganku yang demikian nyatanya sulit. Aku jadi cepat lelah dan kontrol pengapungan badan Novi jadi kurang baik. Sebabnya dengan gerakan tangan dan kaki, badan Novi jadi seperti akan melaju ke depan, padahal aku harus tetap menjaganya agar dia tidak tenggelam.

Mau tidak mau posisi tanganku jadi menengadah. Tangan kanan ku menyangga dibagian atas, dan yang kiri menopang tubuh Novi bagian bawah. Pada posisi begini sangat mustahil tidak menyenggol tetek Novi yang baru tumbuh dan kemaluannya yang menggelembung.

Novi tapi seperti tidak merasa risih bagian-bagian intimnya tersenggol tanganku. Malah dia melakukan gerakan liar dan kacau sehingga aku terpaksa menjaganya dengan kontrol yang kurang cermat, sehingga sering kali teteknya tercekam telapakku begitu juga kemaluannya. Ini aku tidak sengaja dan jujur aku berkata sungguh.

Setelah beberapa saat koordinasi gerakan tangan dan kaki Novi mulai baik. Tanpa kupegangi lagi dia bisa mengapung dan bergerak maju dengan kayuhan kaki dan tangannya.

Ibunya kagum atas kemajuan Novi belajar berenang. Meski belum berani ke arah kolam dalam, tetapi Novi sudah bisa hilir- mudik mengayuhkan kaki dan tangannya.

“Mas saya diajari juga dong,” kata ibunya.

Aduh mati aku, masak permintaan si ibu ku tolak, apa alasannya. Tapi kalau kuterima kan berarti aku bakal memegang payudara dan kemaluannya. Apa dia nanti gak marah, kalau kesenggol itunya. Mestinya dia tahu risiko itu, tetapi toh dia memilih untuk menerima risiko itu. Atau jangan-jangan minta diajari renang itu hanya alasan sampingan aja, dan alasan utamanya minta disentuh bagian pentingnya. Kalau alasan yang kedua itu tujuannya, dan aku tolak berarti aku bodoh luar biasa.

Sampai disini aku harus merubah sikap yang tadi penuh santun, jadi harus agak nakal nih. “Wah kalau ngajari orang gede ada tarifnya mbak,” kataku dengan nada gurau.

“Koq jadi komersil sih, emangnya berapa tarifnya,” tanya Jeanet sambil melepaskan lirikan agak menggoda.

“Berapa yaaa.., wah jadi bingung nih,” kata ku dengan mimik lugu.

“ Makanya jangan sok komersil, udah ahh, gimana sih,” kata Jeanet.

Aku lalu menginstruksikan agar dia berpegangan dahulu ke bibir kolam lalu kedua tanganku berada di bawah badannya sambil aku mencari posisi yang tidak langsung menyentuh buah dadanya dan kemaluannya. Tangan kiri ku menyangga di dada bagian atas dan tangan kananku ke perut bagian bawah, sedikit di atas kemaluannya. Pelan pelan aku angkat dan kujauhkan dari bibir kolam. Kedua tangannya kuminta mengayuh seperti yang tadi kutunjukkan kepadanya. Dia melakukannya pelan-pelan. Gerakan ini tidak terlalu membuat gaya maju sehingga aku bisa menahan badannya. Tetapi setelah aku koreksi arah telapak tangannya, maka gerakan maju badannya menjadi semakin besar. Pada awalnya kedua tanganku masih bisa di zona sopan. Selanjutnya gerakan tangannya yang makin cepat membuat posisinya bergeser. Aku jadi kelabakan ketika sanggaan tangan ku terlepas dan dia agak kelelap. Sesegera mungkin aku mengangkat tubuhnya ke atas dengan topangan kedua tanganku. Kejadiannya, tangan kiriku mengangkat tepat di kedua gundukan empuk dadanya dan satu lagi membentur gundukan vital yang bawah. Tapi Jeanet kelihatan cuek aja. Aku pun pura-pura tidak merasa sentuhan ke bagian vitalnya. Dia terus berkecipak, tapi iramanya kacau, sehingga air muncrat kemana-mana dan menerpa wajahku . Dalam suasana kacau itu telapak tanganku akhirnya mencekam sebelah susunya dan yang bawah sempat mengangkat di bagian segitiga bawahnya. Aku coba bertahan di bagian itu, sambil sedikit melakukan remasan halus.

“Guru renangnya genit ah,” kata Jeanet setelah berhenti karena lelah.

Aku tidak membela diri, kecuali menuju ke bagian yag agak dalam sehingga hanya bagian kepala ku saja yang muncul ke permukaan air. Novita mentas ke atas. Ibunya mempraktekkan gerakan renangnya sambil mengejar ku. Dia kemudian ikut berdiri di sampingku.

“Cape ya mas ngajari aku,” tanya Jeanet.

“Ah enggak, Cuma nggak berani mentas aja, “ kataku jujur.

“ Kenapa,” tanyanya.

Tanpa kusadari tangannya rupanya meraih senjataku dibawah. Dia menggenggamnya.

“ Oh pantesan, “ katanya sambil tersenyum.

Mendapat serangan mendadak aku sempat kaget, tetapi aku berusaha bertahan pada posisiku. Lalu aku pura-pura mendesis. Melhat reaksiku, cengkeraman tangan Jeanet malah makin aktif. Tangannya malah masuk ke dalam celana renangku dan senjata ku yang sudah siap tempur dibekapnya. “Wah lumayan juga,” katanya sambil melakukan gerakan mengocok. Aku terus mendesis sambil mengamati situasi di sekelilingku. Situasinya kelihatan aman. Novita juga gak kelihatan.

Jeanet tidak puas meremas dia lalu menyelam dan menarik ke bawah celana renangku. Senjataku yang tegak sempurna disosornya. Pengalamanku pertama di oral di dalam air. Nikmatnya luar biasa. Tapi Jeanet tidak bisa berhan lama. Dia berkali-kali muncul dan tenggelam. Tapi aku masih tetap bertahan tidak menyemburkan lahar.

Jenaet kemudian kelelahan sehingga dia bersandar di bibir kolam. Giliran ku sekarang menggerayang. Tujuan tanganku langsung ke bagian bawah dan menyeruak masuk dari sela bawah celana renangnya. Jariku menemukan celah yang terasa hangat dan dengan piawai si jari tengah mengeksplorasi pusat rangsangan clitorisnya. Dengan gerakan halus aku mengusap beberapa saat sampai Jeanet kemudian menekan tanganku dan terasa bagian dalam kewanitaannya berdenyut.

“Kamu harus bertanggung jawab,” kata Jeanet sambil memeluk sebelah tanganku.

Kami kemudian mentas, setelah aku mengatur posisi senjata ku agar tidak terlalu terlihat mendobrak celana renang.

Kami bergabung dengan Novita yang lagi asyik melahap kentang goreng di bawah payung kolam renang.

Orang mungkin menyangka kami adalah keluarga, karena umurku tidak terpaut jauh di atas Jeanet.

Aku menawarkan mereka untuk menikmati makanan Jepang di hotel ini. Tawaran ini langsung mereka terima.

Selepas 3 jam berenang rasa lapar memang sangat terasa. Mereka aku giring ke restoran Jepang di hotel. Kami memilih ruang yang tertutup. Kalau sudah lapar makanan apa pun rasanya nikmat. Misalnya aku sendiri, pasti aku memilih makan di restoran Padang, karena memang lapar sekali. Tapi karena aku menenteng tamu yang cantik dan anaknya yang centil, demi gengsi aku giring mereka ke tempat makan yang cukup bergengsi.

Masalah timbul ketika aku akan membayar makanan yang tergolong cukup mahal. Waiter menolak kartu kreditku, karena katanya sudah dibayar. Aku sempat bingung, kalau tidak Jeanet, senyum-senyum. Dia ternyata sudah mendahului membayarnya. Mungkin ketika dia ke toilet tadi dia mampir ke kasir.

Dari obrolan kami sejak di kolam renang sampai makan di restoran, aku mengetahui bahwa Jeanet adalah istri ke dua dari pengusaha terkenal. Dia jarang disambangi suaminya, karena selain sibuk mondar-mandir ke luar negeri, dia juga punya rumah tangga lain.

Selagi kami asyik ngobrol sambil, Novita merajuk ke ibunya karena dia tersesak bab. Dengan cekatan aku menawarkan untuk menggunakan kamar mandi di kamarku. Mereka menyetujui dan kami pun naik ke lantai kamarku. Aku mengambil Junior Suite room. Jadi kamarnya agak lega. “ Wah enak sekali kamarnya mas, bagus ya,” ujar Jeanet memuji kamarku.

“Ah tapi berantakan, maklum kamar laki-laki,” kataku sambil membereskan baju-bajuku yang berserakan di tempat tidur.

“Sampai kapan nginep di sini,” tanyanya.

“ Rencananya besok sabtu balik, dengan flight siang,’’ jawabku.

“ Ma kamarnya enak ya Ma, kita nginap di hotel dong malam ini, besok kan Novi libur, biar besok pagi bisa berenang lagi, “ kata Novi.

“Udah nginep di kamar oom aja Nov, hotelnya lagi penuh,” sambutku, karena aku melihat peluang di depan yang menggairahkan.

“Iya ma, iya ma, kita bareng ama oom aja,” sambut Novi sambil melonjak-lonjak.

Aku pun di dalam hati melonjak-lonjak, karena melihat kemungkinan melanjutkan permainan kami di kolam renang tadi.

“Tapi kan kita gak bawa baju ganti, untuk besok Nov,” kata ibunya.

“Ya kita pakai baju ini lagi aja,” sanggah Novi.

“Tapi kan juga gak bawa baju tidur Nov,” kata Jeanet.

“ Ala mama, udahlah kayak biasa di rumah aja,” kata Novi.

Jeanet lalu bercerita bahwa sejak mereka diajak suaminya berlibur ke selatan Prancis pada liburan musim panas yang lalu, mereka tinggal di resort nudis selama seminggu. Sejak itu Jeanet dan anaknya, di apartemennya menerapkan kehidupan nudis. Bahkan pembantunya juga ikut-ikutan Nudis, karena dia diajak juga berlibur ke Prancis.

“Emang pembantunya masih muda?” tanya ku.

“Ya sekitar 23 tahun lah, pembantu ku cantik lho, tapi udah janda,” kata Jeanet.

Di kamar ku ini hanya ada single bed, meskipun cukup besar. Aku masih bingung bagaimana caranya mengatur tidur bertiga.

Aku membuka bed cover melipatnya dan ku masukkan ke dalam lemari bagian bawah.

Novi langsung mengambil posisi di tengah.

“Jangan tidur dulu kamu harus mandi bilas, air kolam renang kan gak terlalu bersih,” kata Jeanet mengingatkan.

“Ya mama, aku udah ngantuk ni,” sanggah Novi.

“Mama juga mandi dong,” kata Novi menambahkan.

Dia dengan malasnya bangkit dari tempat tidur. “Ayo ma kita mandi sekalian, Oom juga sekalian deh,” kata Novi sambil menggeret mamanya dan aku dari kursi.

Ini celaka besar, kalau aku mandi bareng mereka, pasti aja senjataku mengacung. Aku sih suka-suka aja, tetapi dengan senjata ngacung begini, keinginanku dalam hati dengan mudah terbaca dong.

“Ayo deh mas kita mandi sama-sama,” Jeanet melemparkan tawaran.

Apa boleh buat, tawaran tidak bisa ditolak, dan aku ingin pula merasakan sensasi baru.

Kamar mandiku model Jacuzzi. Aku membersihkannya sebentar lalu kuisi dengan air hangat. Sementara itu Novita dan ibunya sudah mengupas semua pakaiannya. Tanpa rasa canggung mereka sudah bugil. Dalam situasi seperti itu, aku tidak bisa bertahan untuk tidak bugil. Malulah. Dengan membelakangi mereka aku mencopot semua pakaianku. Untunglah si otong belum sadar, sehingga dia masih menggelantung. Tapi sebenarnya sudah mulai membengkak sedikit.

Bath tub cukup juga untuk kami berendam bertiga. Tubuh Jeanet memang benar-benar mulus dan putih. Anaknya Novita juga sama dengan emaknya putih mulus dengan buah dada yang baru tumbuh dan di bawah sana masih gundul plontos. Emaknya cukup lebat. Jeanet wanita beranak satu ini bodynya masih sangat bagus. Dengan postur yang tinggi, sekitar 172 cm, pinggangnya terlihat ramping dan perutnya belum membusung. Dia kelihatannya pandai merawat tubuh. Kami bercengkerama di dalam bak. Sambil mengobrol, tangan Jeanet tidak segan-segan meraih senjataku dan meremas-remasnya. Aku diperlaukan begitu, tentu saja canggung, karena Novita berada juga disampingku. Tapi kalau kularang, rasanya aku koq sok jual mahal.

Belum sempat aku kikuk dengan suasana seperti itu, Jeanet malah memelukku dan mencucup bibirku. Tidak siap dengan serangan mendadak, aku jadi seperti orang bloon. Jeanet mencumbuku seolah-olah kami hanya berdua. Padahal anaknya yang beranjak remaja ada di dekatnya. Sambil mencium bibirku tangan Jeanet mengocok-ngocok batang ku yang sudah mengeras sempurna. Aku tidak berdaya menghadapi situasi yang menegangkan ini.

Kulirik Novita hanya diam saja memperhatikan kami bercumbu. Lama sekali rasanya bibir Jeanet membekap mulutku. Mungkin karena suasana yang menegangkan ini aku jadi merasa waktu berjalan lambat sekali.

Belum habis keherananku, tangan Novita menarik tanganku mengarahkan ke kemaluannya . Aku dimintanya mengusap-usap gundukan kecil di situ. Makin runyam saja situasi ku. Semua aku turuti saja, dan nanti saja lah mencari tahu bagaimana sebenarnya latar belakang keluarga ini.

Jeanet melepas bibirnya dari mulutku, lalu dia bangkit mentas dari bak mandi. Bersamaan dengan itu aku juga melepas belaian ke gundukan kecil Novita. Aku takut ketahuan.

Jeanet naik ke meja wastafel dan menekuk kedua kakinya sambil mengangkang. Aku dimintanya mengoral kemaluannya yang merekah dan tampak merah. Seperti kerbau dicocok hidung aku menuruti kemauannya. Aku mengatur handuk untuk menopang lututku yang bersimpuh di lantai. Dengan posisi berdiri pada lutut aku mengoral Jeanet, yang mengerang-ngerang tanpa tedeng aling-aling.

Sementara aku sedang berkosentrasi mengoral Jeanet, aku merasa di bawah sana senjataku seperti juga dioral. Aku tentu saja tidak bisa melihat, tapi bisa menduga pasti itu kerjaan Novita.

Dalam situasi yang mebingungkan itu, rangsangan yang kurasakan jadi tidak maksimal. Apa boleh buat semuanya harus aku terima dengan ikhlas.

Jeanet tidak lama kemudian sudah mencapai orgasme, ditandai dengan tangannya membekap kepalaku dan kemaluannya berdenyut-denyut. Sementara aku sudah mencapai rangsangan yang sempurna dengan kekerasan senjata maksimal. Jeanet menarikku agar berdiri dan dia segera meraih senjataku lalu dituntunnya memasuki gerbang merah.

Novita bangkit dari kolong wastafel dan dia duduk di toilet sambil memperhatikan kami bertempur. Jeanet sangat liar dan jalang. Dia mendesis dan bersuara berisik sekali. Aku jadi makin terangsang sampai akhirnya aku orgasme dalam waktu yang tidak terlalu lama. Aku tidak tahu apakah Jeanet mencapai orgasme juga. Mungkin saja ketika tadi aku menyemprotkan lahar ke dalam liangnya dia menarik pantatku kuat sekali. Dikala penisku berdenyut aku tidak sempat memperhatikan apakah liang Jeanet juga berdenyut.

Usai pertempuran itu kami mencuci bagian vital kami dengan shower. Kamar mandinya jadi becek dengan genangan air di sana sini. Sebelumnya aku sempat mengangkat handuk yang digunakan untuk mengalasi dengkulku tadi.

Belum sempat aku bertanya dari situasi yang rumit barusan, Si Novita mengikuti apa yang dilakukan ibunya. Dia mengangkang diatas meja wastafel yang juga minta dioral. Aku ditariknya utuk segera menservicenya. Aku tidak sempat bertanya dan minta izin ibunya, kepala ku sudah ditarik Novita keselangkangannya.

Kuturuti keinginan Novita dan aku kembali mengoral. Namun kali ini gudukan kecil yang masih gundul. Novita menggelinjang-gelinjang mengantisipasi sapuan lidahku langsung di clitorisnya. Sialnya anak kecil ini lama bener orgasmenya sampai aku capek. Dalam kondisi habis bertempur kondisiku tentu tidak terlalu tangguh. Tapi senjataku cukup tangguh, karena dia kini sudah membengkak hampir sempurna lagi. Mungkin sensasi 3 some aneh ini membuat dia cepat terbangun.

Mungkin Novita bosan dijilat terus menerus tapi tak kunjung mendapat orgasme. Dia menarik kepalaku ke atas dan aku diminta menghunjamkan rudalku ke dalam belahan kecil yang memerah. Aku turuti saja kemauannya, karena aku pun baru pertama kali ini mencicipi gadis yang sangat belia.

Pelan-pelan kutekan senjataku memasuki gerbang kecil. Aku sangat berhati-hati menekankannya. Tetapi rasanya tidak ada halangan yang berarti. Kesimpulanku Novita sudah tidak virgin lagi. Dia bukannya meringis kesakitan malah menarik pantatku kuat-kuat sambil menggoyang pinggulnya. Senjataku tanpa halangan berarti sudah terbenam sempurna.

Aku terus memompanya, mungkin sampai 10 menit tanpa ada tanda-tanda Novita akan orgasme. Aku sendiri merasa O ku masih jauh. Kugendong Novita lalu aku mengarah masuk ke bak mandi. Aku duduk di bibir bak, dengan kaki terendam air hangat. Posisinya kini Novita berada diatas ku seperti duduk dipangkuan dengan posisi berhadapan. Setelah aku duduk dengan posisi yang PW, Novita menggerakkan pinggulnya dengan irama yang gak karuan. Dia mulai mengerang-erang. Mungkin dia mendapatkan posisi yang tepat sehingga dia melakukan gerakan yang dia inginkan. Pada posisi itu dia kemudian mengerang dan menjepitkan kedua kakinya ke badanku.

Setelah dia mencapai kepuasannya, aku segera membopongnya keluar bak mandi dan mencuci kemaluannya.

Jeanet hanya senyum senyum saja. “ Enak nak,” tanyanya ke Novita.

Yang ditanya mengangguk.

“Jangan heran ya, keluarga kami memang aneh,” kata Jeanet ketika kami kembali berendam.

Seusai mandi dan mengeringkan badan kami keluar dari kamar mandi tanpa ditutupi baju lagi langsung masuk ke dalam selimut. Aku di pinggir, Novita di tengah dan Jeanet di sisi lain.

Dari penjelasan Jeanet, Novita diperawani ayahnya sendiri. Mereka di rumahnya menerapkan free sex. Mereka bebas telanjang, termasuk pembantunya. Kalau suaminya menginginkan hubungan intim, dia lakukan begitu saja dimana pun kepada siapa pun termasuk pembantunya.

Tidak ada rasa cemburu di rumah itu, dan tidak ada keinginan menguasai. Mereka sudah hidup seperti itu lebih kurang 2 tahun. “ Jadi Novi umur berapa diperawani,” tanyaku.

“ Mungkin waktu itu masih 10 tahun,” kata Jeanet.

Aku bukannya heran malah makin terangsang. Apalagi tangan Novi terus meremas-remas batangku dia bangkit dan membuka selimut sehingga kami terpapar telentang telanjang. Ibunya ikut bangkit dan langsung menyosor batangku yang sudah tegang sedari tadi.

Hanya sebentar dikulum-kulum dia lalu menaiki tubuhku dan memasukkan senjataku ke celahnya. Aku pasif saja sementara Jeanet memacuku dengan gerakan dan celotehannya.

Dia mencapai orgasme lebih cepat dari ku sehingga aku harus membalikkan posisi untuk menggenjot Jeanet.

Sambil aku mengayuhnya aku mencari posisi yang paling dirasakan enak oleh Jeanet. Setelah poisisi itu kuketahui aku bertahan begitu dengan terus menggenjut. Kami akhirnya hampir bersamaan mencapai orgasme.***


Baca juga...



Kembali ke Beranda

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Pilih judul

Kategori

Pengunjung

Ditunggu kunjungnya kembali...