Klik disini untuk melihat judul cerita yang akan segera terbit !!
Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 19 Agustus 2014

Kerajaan perempuan

Bagikan :

Seorang petualang sejati tidak pernah akan berhitung berapa biaya yang dihabiskan hanya untuk memuaskan keingintahuannya. Setahun lebih aku merencanakan ekspedisi yang paling gila
dan paling berbahaya. Aku merancang dengan mengambil cuti panjang yang kuperoleh dari tempat kerjaku.
Melalui berbagai informasi yang kukumpulkan akhirnya aku memutuskan akan menelusuri Sungai Mamberamo. Ini adalah sungai terbesar dan terpanjang di Papua. Menurut literatur panjang Sungai Mamberamo lebih dari 650 km. Yang menarik, di bagian hulu, atau di pedalaman masih banyak suku-suku yang belum banyak kontak dengan dunia luar atau dengan misionaris. Beberapa suku bahkan masih kanibal.
Persoalan yang kemudian muncul adalah besarnya biaya yang dibutuhkan. Jika aku berangkat sendirian ditaksir biaya tidak kurang dari 150 juta untuk perjalanan selama 3 minggu. Jumlah segitu bagiku lumayan berarti juga, agak berat kalau harus mengumpulkan uang segitu banyak untuk memuaskan jiwa petualanganku.
Aku mengontak teman-teman di mass media baik lokal maupun asing. Aku tawarkan ekspedisi menyusuri Sungai Mamberamo selama 3 minggu. Seorang wartawan koran besar di Jakarta, tertarik. Dia akan membicarakan dengan kantornya untuk kemungkinan membiayai ekspedisi ini. Dia pun kemudian mengontak temannya yang bekerja di TV Jepang dan TV Amerika.
Seminggu kemudian aku mendapat jawaban bahwa temanku mendapat persetujuan untuk melakukan ekspedisi itu, bahkan wartawan TV Jepang dan TV dari Amerika sangat antusias menginginkan ekspedisi ini. Aku sempat ciut juga. Sebab awalnya aku tidak terlalu serius dengan jadwal perjalanan ekspedisi ini, tetapi sekarang aku harus membuat itinerary. Jika awalnya aku akan mengikuti situasi saja melakukan perjalanan, sekarang harus menetapkan acara mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. Yang membuatku makin pening adalah menetapkan berapa aku akan mengenakan biaya untuk setiap orang ini.
Aku minta mereka bersabar selama sekitar 3 hari, karena aku beralasan akan mengontak semua orang-orang di Papua untuk melihat kemungkinan mana yang paling praktis dan mudah serta ekonomis dalam melakukan ekspedisi Mamberamo.
Aku mengontak teman-teman, serta dan berbagai instansi di Papua. Akhirnya belum 3 hari aku sudah mendapatkan biaya carter pesawat, biaya carter boat, situasi keamanan di sepanjang perjalanan, sampai contact person di pedalaman.
Akhirnya aku mendapat 2 alternatif rute. Alternatif pertama menelusuri sungai dari muara sampai ke hulu, dan alternatif kedua, langsung terbang ke hulu dan dengan boat lalu menelusuri ke bagian yang lebih hulu lagi. Kedua-duanya sama mahalnya.
Aku mengenakan tarif 6000 dolar untuk setiap orang. Aku kira tarif itu tadinya bakal memberatkan mereka. Eh ternyata mereka enteng saja mengatakan setuju. Dengan tarif itu aku jadi gratis dan dapat untung yang lumayan juga.
Singkat cerita kami sudah bersiap-siap di pelabuhan Jayapura. Rombongan dari jakarta akhirnya membengkak menjadi 8 orang . Ada tambahan crew tv 2 orang dari Australia. Hanya aku dan Ferri yang orang Indonesia. Bulenya ada 4 orang dan 2 orang Jepang. Aku mensyaratkan semua rombongnku harus laki-laki, karena medan yang akan kami hadapi sangat berat dan masih rawan. Kami mendapat kabar bahwa wilayah yang akan kami lewati masih terdapat pejuang dari Papua Merdeka. Mereka masih cukup eksis di wilayah Mamberamo.
Dengan boat sewaan kami bertolak dari pelabuhan sekitar pukul 5 pagi WIT. Perjalanan akan menempuh sekitar 8 jam sampai ke muara sungai Mamberamo. Perjalanan menyusuri pantai utara Papua lumayan indah, karena masih banyak hutan-hutan perawan yang kami lihat.
Kami istirahat sebentar di Sarmi untuk sekedar meluruskan otot-otot . Sekitar 1 jam setelah terasa segar kami meneruskan ke titik terakhir hari pertama ini adalah Teba, sebuah kampung di ujung muara sungai Mamberamo.
Tiba di Teba sekitar pukul 5 sore. Udara masih terang. Kampung Teba, tidak terlalu besar, hanya ada sekitar 30 rumah nelayan. Hotel, tentu saja tidak ada. Kami menyewa rumah penduduk untuk sekedar istirahat malam.
Dari kampung Teba keesokan harinya pagi sekali sekitar pukul 6 pagi kami sudah bertolak dengan boat yang juga membawa 5 drum bensin. Perjalanan akan memakan waktu antara 8 sampai 10 jam untuk sampai ke pos berikutnya di Dabra. Satu kampung kecil di wilayah hulu Mamberamo.
Pemandangan selama perjalanan ke hulu sangat memukau. Hutan perawan dengan berbagai satwa temasuk buaya sungai sering kami lihat di sepanjang perjalanan.
Tiba di Dabra sekitar pukul 6 sore. Kami agak terlambat sampai karena beberapa kameraman minta parahu untuk berhenti beberapa kali guna para kameraman mengambil gambar .
Di Dabra kami langung dijemput oleh contact person yang akan menjadi pemandu sekaligus pemanggul barang. Mereka sudah beberapa kali menjadi guide untuk rombongan yang akan masuk ke hulu Mamberamo.
Suasana keterisolasian sangat terasa. Di Dabra kami menginap di rumah missionaris. Informasi yang kami peroleh bahwa di bagian hulu sungai sudah tidak ada lagi kampung-kampung penduduk. Penduduk di wilayah itu umumnya nomaden, sehingga mereka jarang menetap di satu tempat untuk waktu yang lama. Perjalanan ke hulu juga makin sulit, karena arus sungai juga sudah semakin deras serta banyak batu-batu.
Aku menargetkan masuk sekitar 2 hari lagi perjalanan dengan speedboat, lalu kami melakukan treking di wilayah yang kami rasa memungkinkan.
Keesokan paginya kami sudah bersiap berangkat. Udara dingin pegunungan terasa menggigit. Pagi itu sekitar pukul 7 pagi kami bertolak meninggalkan Dabra menuju wilayah lebih Selatan. Kami tiba di pertemuan sungai yang ke arah timur adalah sungai Tantaku dan yang ke barat adalah sungai Taritaku. Arus deras kedua sungai itu membuat kami harus hati-hati. Tidak hanya memperhatikan balok yang hanyut dan batu yang menonjol, tetapi yang lebih berbahaya adalah arus deras dan putaran arus. Banyak korban kapal tenggelam oleh arus yang berputar. Aku minta boat untuk menyusuri pinggir sungai yang arusnya relatif lebih tenang dari pada di tengah sungai.
Perjalanan menyusuri hulu sungai Tariku menjadi semakin eksotis. Perjalanan menelusuri sungai makin asyik, Boat kami berkelak-kelok di sungai menghindari batu-batu yang menonjol di sungai. Tidak terasa sudah 8 jam kami mengarungi wilayah hulu sungai. Kami sudah masuk jauh ke hulu sungai. Menurut pamandu kami, dia belum pernah sejauh ini masuk ke pedalaman, sehingga wilayah ini dia belum kenal betul.
Menjelang pukul 4 sore kami mencari tempat berlabuh. Satu wilayah yang ditumbuhi rumput seluas lapangan bola menjadi pilihan untuk kami mendirikan tenda. Tidak ada manusia seorang pun yang kami lihat sejak 4 jam terakhir perjalanan kami. Hutan lebat dan suara-suara satwa saja yang kami temui.
Malam mulai menjelang, suasana gelap dan mencekam. Mungkin karena kami belum mengenal daerah itu, maka perasaan mencekam itu merasuki kami.
Kami menerapkan gantian berjaga. Setiap 2 jam kami bergantian jaga. Bukan apa-apa, kami bukan hanya khawatir terhadap binatang liar seperti buaya dan ular, tetapi juga kemungkinan di datangi oleh orang-orang primitif.
Aku tidak ingat benar, tetapi mungkin sekitar pukul 4 pagi Perkemahan kami diserang. Serangan itu begitu mendadak dan sama sekali tidak menimbulkan kegaduhan. Tiba-tiba kami sudah ditodong oleh tombak di leher kami. Tidak ada jalan lain kecuali kami pasrah dan menyerah. Di dalam keremangan malam , kami tidak dapat melihat wajah penyerang kami. Namun dari suara mereka berbicara sepertinya mereka adalah perempuan. Tangan kami diikat kebelakang dan kami di dorong agar mengikuti mereka. Kutaksir penyerang kami ada sekitar 30 orang. Setelah mereka berhasil menguasai kami, Mereka menjerit-jerit. Mungkin itu adalah teriakan kemenangan.
Menjelang fajar sekitar 1 jam kami berjalan memasuki hutan dan mendaki, baru terlihat jelas bahwa penyergap kami semuanya adalah perempuan. Mereka tidak mengenakan pakaian apa pun, kecuali telanjang.
Kami hanya membawa apa yang kami sandang. Para awak televisi tidak sempat menyambar kamera mereka. Hanya aku yang membawa kamera, karena kebetulan semalam aku tidur dan kamera itu tersimpan dalam saku celanaku.
Crew Jepang terlihat sangat ketakutan, Si Australia malah cengengesan seperti juga bule Amerika. Pemanduku memberi tahu bahwa penyergap kami ini adalah suku perempuan yang ganas. Di dalam komunitas mereka, katanya tidak ada laki-laki. Mereka sangat terpencil dan jarang kontak dengan penduduk sekitarnya. Cerita mengenai keberadaan suku perempuan ini sudah pernah saya dengar ketika berada di Jayapura. Namun karena cerita itu tidak jelas, aku menganggapnya itu hanya issu saja.
Kini aku malah ditawan mereka dan di giring menuju kampungnya.
Seharian kami berjalan sampai akhirnya ke kampung mereka. Kampungnya berada diatas ketinggian. Untuk mencapai wilayah itu hanya bisa dilalui dengan tangga yang cukup tinggi.
Diatas terdapat beberapa rumah dan lapangan yang bersih dari rumput. Mungkin ini seperti alun-alun kalau di Jawa. Namun ukurannya hanya sekitar 10 x 10 meter. Kami bersepuluh diikat mereka di tonggak-tonggak yang berada di situ.
Seorang wanita yang agak gemuk, dengan asesoris kalung gigi babi dan hiasan rambut dari bulu burung kasuari mendekati rombongan kami. Dia berbicara dalam bahasanya, tetapi tidak satu pun dari kami yang paham maksudnya. Bahkan pemandu kami juga tidak mengerti bahasa mereka.
Komunitas mereka sekitar 100 an orang, atau mungkin lebih dan memang semuanya cewek. Dari yang tua sampai anak-anak semuanya cewek. Kalau pun ada laki-laki mungkin hanya anjing jantan yang kelihatan banyak berkeliaran di situ.
Wanita gemuk tadi kelihatannya kepala sukunya, karena dia didampingi oleh 2 pengawal cewek. Si pemandu mengatakan bahwa kami tidak mungkin akan pulang dengan selamat, karena kabarnya mereka akan membunuh cowok yang pernah masuk ke kampung mereka.
Aku sama sekali tidak berdaya dengan kedua tangan terikat ke belakang. Mau negosiasi, mereka juga tidak mengerti bahasaku.
Baju kami masing-masing dibuka secara paksa, mereka merobek baju kami. Berikutnya celana dipeloroti satu persatu. Mungkin karena mereka tidak pernah pakai celana jadi tidak tahu cara membukanya Celana luar kami juga dirobek untuk membukanya.
Suasana di kampung itu cukup dingin, sehingga begitu kami telanjang terasa udara dingin menyergap tubuh. Akhirnya celana dalam juga dipeloroti. Mereka tertawa-tawa melihat kami telanjang. Si pemandu kami, malah penisnya berdiri. Sebenarnya dia takut apa terangsang sih, batinku dalam hati.
Si kepala suku mendatangi kami satu persatu. Penis kami masing-masing ditimang-timangnya. Dia mengangguk-angguk sambil entah ngomong apaan.
Mungkin kemudian dia memerintahkan warganya, karena setelah itu kami dibaluri semacam minyak yang baunya bikin mual. Baunya sama seperti bau badan mereka. Anehnya setelah dibaluri minyak itu rasa dingin tadi bisa hilang. Mungkin minyak inilah yang melindungi mereka dari udara dingin pegunungan. Aku dari tadi menahan kencing, dan rasanya sekarang sudah tidak bisa tertahan lagi, maka dalam keadaan telanjang dan tangan terikat di tonggak aku langsung melepas hajat kencingku. Terpancurlah kencingku, mereka lalu menunjuk-nunjuk aku sambil tertawa.
Si kepala suku ngomong ke pengawalnya, lalu aku dilepas dari tonggak dan digelandang . Aku ditidurkan telentang dan kedua tanganku diikat ke sebatang kayu sehingga posisinya jadi merentang. Kedua kakiku juga diikat dengan sebatang kayu sehingga jadi posisi ngangkang. Aku merasa tamatlah riwayatku digorok di sini. Tiba-tiba datang seseorang membawa semacam gelas dari kayu. Mulutku dipaksa dibuka dan aku dipaksa meminum cairan di dalamnya. Rasanya pahit dan memualkan. Aku sembur cairan itu. Melihat reaksiku, mereka kelihatannya marah dan menodongkan tombak ke leherku. Aku dipaksa lagi meminum cairan itu. Sekarang aku tidak punya pilihan, dan terpaksa menelan habis cairan yang rasanya pahit dan baunya bikin mual.
Aneh tidak sampai 5 menit badanku terasa hangat, dan yang lebih aneh lagi penisku jadi berdiri. Padahal aku sama sekali tidak terangsang melihat cewek-cewek itu meski mereka semua telanjang bulat. Melihat penisku berdiri mereka tertawa dan menari-nari mengelilingiku yang terkapar diikat di dua batang kayu. Semua rombonganku memperhatikanku dengan pandangan khawatir dan takut.
Aku juga sebenarnya takut, jadi dalam keadaan seperti itu mana mungkin bisa terangsang apalagi sampai bisa mendirikan penis.
Belum habis rasa takutku hilang, seorang perempuan menaiki penisku dan berusaha memasukkan penisku ke memeknya. Aku tidak berdaya dan tidak mampu menolaknya, karena dalam keadaan terikat. Si cewek itu lalu jongkok dan melakukan gerakan naik turun, sehingga penisku keluar masuk memeknya. Berkali-kali penisku lepas, tetapi dimasukkan lagi Entah berapa lama dia melakukan itu lalu dia menjerit-jerit dengan kata-kata yang aneh. Tapi aku merasakan memeknya berkedut. Jadi dia rupanya mencapai orgasme. Sementara itu penisku masih tegak dan masih jauh dari ejakulasi. Datang perempuan kedua melakukan hal yang sama. Dia kelihatannya lebih muda dari yang pertama tadi, dan memeknya kuakui enak, yang tadi pun rasanya enak sempit. Dia melakukan ritual bersetubuh denganku sampai akhirnya aku tidak bisa menahan ejakulasiku. Menyemprotlah maniku ke dalam memeknya. Anehnya dia langsung mencabut penisku dan tidur bergulung-gulung seperti orang menggelupur.
Aku pun tidak habis pikir, kenapa penisku tidak loyo setelah tembakan ejakulasiku. Badanku malah terasa makin hangat, dan penisku masih berdiri tegak. Giliran berikutnya adalah si kepala suku yang gemuk tadi, dia seperti melompat-lompat diatas penisku sambil berteriak-teriak aneh. Dia menjerit dan seperti kata-kata yang mendapat orgasme tadi dia berteriak dan memeknya terasa berkedut. Datang lagi perempuan lain menaikiku, begitu seterusnya sampai aku lupa menghitungnya. Aku sendiri sudah 3 kali ejakulasi tanpa penisku loyo.
Rupanya teman-temanku melihat aku diperlakukan begitu, mereka jadi ikut-ikutan kencing. Anehnya setelah kencing mereka malah diperlakukan seperti aku, diperkosa dengan kaki dangan tangan terentang diikat oleh dua batang kayu.
Sekitar 3 jam aku diperkosa oleh orang-orang ini, sampai akhirnya aku digiring masuk ke dalam semacam sangkar.
Akhirnya kami bersepuluh di masukkan ke dalam sangkar dalam keadaan bugil. Aku dan juga anggota rombonganku merasa aneh. Meski kami rata-rata bisa berejakulasi sampai 3 kali, tapi badan ini tidak terasa lelah. Malah badan kami terasa lebih fit.
Di dalam sangkar yang sepertinya adalah penjara, kami tidak lagi diikat. Kami diberi makan ubi yang dibakar dan entah buah apa , tapi yang jelas banyak mengandung air. Setelah itu kami diberi lagi cairan pahit dan baunya yang memualkan itu. Aku berpikir ini adalah obat kuat yang bikin badan segar. Sekarang tanpa paksaan aku teguk habis . kawan-kawanku juga begitu. Badan kami sesudah itu menjadi makin hangat dan sama sekali tidak merasa dingin.
Kami bersepuluh seperti monyet dikandangi. Keesokan harinya , satu persatu kami ditarik keluar dan kembali diikat tangannya. Celakanya aku sekarang kebelet berak. Maka aku langsung jongkok saja dan mengeluarkan kotoran . Mereka kelihatannya mengerti, karena aku diberi waktu berak sampai tuntas. Tetapi ketika aku minta air, mereka tidak tau, aku pun tidak bisa memeragakan bagaimana caranya meminta air. Rasanya risih banget, berak tapi gak cebok begini.
Pagi ini aku diberi makan ubi bakar dengan daging, entah daging apa yang dibakar dan rasanya tawar. Karena perutku lapar, kulahap saja semua. Setelah diberi sarapan pagi kami dibawa duduk di bale-bale. Di situ sudah duduk pula si kepala suku. Dia entah ngomong apa. Si penerjemah kami pun tidak ngerti. Seorang cewek datang mendekat ke pemanduku, dia ngomong sesuatu, lalu si penerjemah manggut-manggut. Rupanya cewek itu berusaha menerjemahkan bahasanya dengan bahasa yang dimengerti oleh pemanduku.
Rupanya kami sedang dibrifing bahwa kami diminta membuahi rakyat suku ini. Kami tidak akan dibunuh dan dijadikan santapan, kalau kami berkelakuan baik dan tidak melawan. Aku minta si penerjemah menjelaskan bahwa kami tidak akan melawan dan akan menuruti semua kemauan kepala suku. Si kepala suku kelihatan paham dan mengangguk-angguk. Akhirnya, kami dilepas dari kekangan ikatan, sehingga kami bebas. Tetapi pasukan bersenjata masih terus mengelilingi kami berjaga-jaga. Sekali lagi kami disuguhi minuman doping yang memualkan itu dan dengan senang hati kami menenggaknya sampai habis. Lucunya tidak lebih dari 10 menit, penis kami masing-masing sudah berdiri lagi.
Mereka kelihatannya senang dan satu persatu dari kami mulai dikerubungi cewek-cewek yang baunya bikin mau muntah. Kami diminta menyetubuhi mereka bergantian. Tentunya kami tidak bisa memilih, kecuali mereka yang memilih kami. Kelihatannya mereka lebih berminat berhubungan badan dengan crew TV bule-bule, sehingga dia dikerubung lebih banyak cewek yang meminta dientot.
Pagi itu sampai siang kerja kami cuma ngentotin cewek-cewek itu secara bergantian. Aneh memang penis kami tetap ok meski udah bagitu banyak kami berejakulasi.
Setelah makan siang yang menunya sepertinya papeda, karena memang kaya lem dan daging bakar kami kembali dimasukkan kandang dan disuruh beristirahat. Sebelumnya kami disuruh memakan daun-daunan dan buah yang rasanya aneh serta air minum yang rasanya juga gak enak dan berbeda dengan yang kami minum sebelum ini. Kami dengan terpaksa menghabiskan minuman itu. Mata jadi berat dan rasanya ngantuk sekali.
Entah berapa lama kami tertidur, tetapi ketika bangun suasana sudah malam. Di tengah lapangan telihat ada api unggun. Mereka menari-nari berkeliling api sambil bernyanyi dan diselingi oleh teriakan-teriakan. Sekali lagi kami digelandang ke tempat upacara. Badan kami sudah segar dan sama sekali tidak merasa dingin. Di sana kami diminta lagi mengentoti mereka. Kali ini kami lah yang menentukan posisi sehingga tidak lagi selalu posisi WOT, tetapi lebih banyak MOT. Aneh memang aku jadi kuat banget ngentotin orang-orang ini, padahal mereka jauh dari cantik dan merangsang, tapi kuakui barangnya peret=peret banget. Aku sempat mendapat perawan 3 kali, karena ketika penisku ku masukkan cewek yang kelihatannya baru numbuh teteknya menjerit dan menangis kesakitan, tapi dia tidak mau menghindar dan terus menunggu sampai aku berejakulasi main sama dia.
Sekitar dua minggu kami dijadikan budak sex mereka sampai akhirnya semua rakyat mereka habis kami entotin. Si kepala suku aja tiap malam minta jatah dari kami bergantian. Meski badannya gemuk, tapi memeknya tetap menjepit, ini rada aneh memang.
Si penerjemah menjelaskan bahwa suku cewek ini mengatakan, mereka belum pernah menangkap buruan orang seperti kami yang berkulit putih. Biasanya mereka menangkap orang-orang pedalaman juga dan setelah itu mereka bunuh dan dagingnya mereka santap beramai-ramai. Pemandu kami yang juga berkulit hitam lolos dari hukuman ini, karena dia masuk dalam rombongan kami yang kata mereka kulitnya aneh.
Meski pada siang hari kami bebas tidak diikat, tetapi pengawasan terhadap kami masih terus melekat. Pada malam hari kami selalu dikurung di penjara. Sejak seminggu setelah kami ditangkap mereka, aku mulai agak bebas berkomunikasi dengan mereka. Meski dengan bahasa isyarat, mereka bisa mengerti. Setiap hari kami diharuskan melayani mereka. Aku lama-lama jadi terbiasa dengan bau yang pada awalnya membuat perut mual. Sebab badanku dan anggota rombongan lain juga begitu. Selama di tawan mereka kami praktis tidak pernah mandi. Aku jadi terbiasa dan yang parahnya terbiasa pula berak tidak cebok. Wah parah banget. Kami setelah agak akrab sempat mengajarkan cara hidup yang lebih baik kepada mereka. Kepala suku kelihatannya senang dengan rombongan kami, sehingga kami diperlakukan lebih ramah.
Setelah 2 minggu pakaian kami yang compang camping dikembalikan dan dengan terpaksa kami kenakan seadanya. Setelah itu kami diminta turun dari kampungnya dan kedua tangan kami kembali diikat. Selain itu mata kami juga ditutup. Kami digelandang seperti sapi dengan ikatan tali di leher kami masing-masing. Aku tidak tahu kemana tujuan mereka, tetapi kami berjalan seharian sampai sekitar jam 12 malam kami kembali ke camp kami. Mereka dengan cepat menghilang setelah melepas ikatan salah satu dari kami.
Semua barang-barang kami masih utuh, termasuk boat kami masih aman tertambat di situ. Sang pemandu menyalami kami satu persatu dan dia mengatakan berterima kasih kepada kami, karena berkat kami dia tidak dijadikan santapan suku perempuan itu. Badan kami lelah luar biasa sehingga kami semua tergeletak lelap sampai pagi.
Badan kami terasa kotor dan lengket serta baunya gak karuan. Kami bersama-sama mandi di sungai yang airnya dingin dan jernih. Setelah badan agak segar, akhirnya kami memutuskan menghilir kembali . Di dalam perahu kami menyepakati untuk merahasiakan pengalaman ini. Tapi kalaupun kami kembali kelak ke daerah ini kami sulit menjejaki kembali dimana letak perkampung suku cewek-cewek tersebut. Rasanya dari tepian sungai kami digelandang ke arah barat, dan agak ke selatan . Kami saling tertawa geli menceritakan pengalaman masing-masing menjadi budak sex suku terasing yang semuanya perempuan. Menurut pemandu kami, jika kelak mereka melahirkan, maka hanya anak perempuan yang dibiarkan terus hidup. Sedang anak laki-laki akan mereka bunuh dan dijadikan santapan.
Daerah Mamberamo memang masih sangat terisolir. Meski sekarang sudah menjadi kabupaten sendiri lepas dari Sarmi dan Waropen, tetapi untuk mencapai ibukota kabupaten masih sangat sulit. Tidak ada penerbangan reguler yang menghubungkan ibukota kabupaten yang baru terbentuk tahun 2007 itu. Jadi kalau mau kesana ya harus carter pesawat dan itu bisa menghabiskan 25 juta untuk sekali jalan. ***


Baca juga...



Kembali ke Beranda

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Pilih judul

Kategori

Pengunjung

Ditunggu kunjungnya kembali...