Klik disini untuk melihat judul cerita yang akan segera terbit !!
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 03 September 2014

Wisata seks III

Bagikan :

Ini adalah cerita bagian ketiga. Untuk mengetahui cerita sebelumnya silakan cari atau googling.
Menjelang jam 4 sore kereta api Matarmaja muncul dari Barat. Aku dan
John sudah menunggu hampir satu jam di stasiun Pegaden Baru, Subang untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang. Jika perjalanan normal tidak ada hambatan kami akan sampai di Semarang sekitar jam 10 malam. Lumayan waktu 6 jam dalam kereta yang ACnya masih berfungsi dengan baik.
Kereta berhenti di stasiun Semarang Poncol. Aku tidak akrab dengan daerah ini, karena biasanya aku turun di Stasiun Semarang Tawang, yang sering kebanjiran. Di pintu keluar stasiun kami sudah dicegat, tukang becak, ojek, dan taksi. Aku berdua ngloyor saja keluar sampai benar-benar keluar dari pagar areal stasiun. Di seberang jalan ada warung menjual minuman segar, dalam kotak pendingin.. Kepada penjual di warung itu aku bertanya-tanya mengenai stasiun bis untuk jurusan Purwodadi. Dia mengatakan, biasanya jurusan Purwodadi terakhir jalan jam 5 sore.
Kami mencegat taksi dan kepada supir taksi, kami minta diantar ke hotel yang dekat dengan Simpang Lima. Tidak sampai setengah jam taksi sudah berhenti di depan lobby hotel yang lumayan juga. Mungkin hotel ini sekitar bintang 3.
Urusan Chek in sudah selesai dan kami menuju kamar . Lumayan bersih, kami bergantian mandi dan istirahat sejenak. Malam itu kami berkeliling-keliling Simpang Lima Semarang, untuk cuci mata sambil makan malam.
Pagi-pagi selepas sarapan kami berdua langsung chek out dan memanggil taksi untuk mengantar ke stasiun bus Penggaron, Semarang. Stasiun bus yang tidak terlalu besar, dengan mudah kami mendapatkan bus jurusan Purwodadi. Duduk sekitar 15 menit di dalam bus yang lumayan hangat juga karena busnya tidak ada AC.
Normalnya Semarang Purwodadi sekitar 2 jam, tetapi kali ini 3 jam baru sampai terminal Purwodadi, Grobogan. Jalannya memang tidak lancar karena ada perbaikan di beberapa tempat sehingga kendaraan harus ngantri.
Turun dari bus sudah dicegat tukang beca dan ojek. Saya cuek aja dan ngloyor, dan seperti biasa mencari warung untuk sekedar ngopi sambil cari informasi. Tanya sana-sini sampai akhirnya saya mengatakan mau ke Kropak, Wirosari.
“Lho saya orang kropak Pak, bapak mau cari rumahnya siapa,” kata si Bapak pemilik warung.
Waduh saya bingung juga menjawabnya, untung inspirasi segera masuk, “ mau ke balai desa pak, mau ketemu kepala desa,” kata saya menjawab sekenanya.
Saya lalu menanyakan kendaraan menuju Kropak, si Bapak merekomendasikan saya naik ojeg dia akan mencarikan ojek yang biasa ngantar ke Kropak. Muncullah dua pengojek dengan motor bebek.
Saya langsung berdiri dan menarik salah seorang tukang ojek itu keluar warung, agar pembicaraan saya tidak di dengar oleh si Bapak pemilik warung,
Si tukang ojek paham tujuan kami, tetapi dia bukan penduduk sana sehingga tidak bisa menunjukkan tempat-tempat yang saya inginkan. Namun dia banyak kenalan di Kropak yang juga pengojek, dia berharap mereka bisa menuntun saya lebih lanjut.
Setelah ongkos disepakati, kami meluncur dibawah terik matahari. Jaraknya lumayan jauh juga sekitar 20 km dari kota Purwodadi. Jalan yang dilalui melalui jalan tanah diantara sawah-sawah, kadang-kadang melewati semak dan perkampungan kecil. Sekitar setengah jam kami akhirnya sampai ke Kropak. Aku diturunkan di sebuah warung makan yang sederhana. Ini kesempatan kami makan siang. Si pengojek tadi setelah menurunkan kami dia mencari rekannya pengojek yang standby di desa itu. Tidak lama kemudian muncul tukang-tukang ojek itu. Pengojek dari Purwodadi setelah dibayar ongkosnya dia kembali ke Purwodadi, sementara pengojek asal Kropak menolak kami ajak makan, mereka akhirnya ngopi saja.
Sambil senyum-senyum mereka menanyakan kira-kira yang bagaimana yang kami inginkan. Jika mengikuti keinginan kami mungkin agak sulit, jadi saya balik bertanya, stok yang ada yang bagaimana saja gambarannya.
Mereka tawarkan umumnya sudah agak berumur semua, rata-rata diatas usia 25 tahun. Tidak ada yang unik sehingga aku agak sulit menentukan. Aku tanyakan diantara begitu banyak yang ditawarkan adakah yang kakak beradik. Langsung di jawab, “ada” malah ada 3 yang begitu.
Setelah memperoleh gambaran, akhirnya aku dan john memilih salah satu pasangan kakak beradik yang digambarkan paling bagus. Aku memberi kesempatan kepada tukang ojek itu untuk men cek apakah mereka ada di rumah, dan kalau ada mereka juga perlu bersiap dan juga apakah mereka bisa terima tamu.
Keduanya akhirnya meluncur, tidak sampai setengah jam keduanya kembali malah diboncengannya ada wanita-wanita. Kami dperkenalkan, orangnya lumayan untuk ukuran desa, badannya kelihatan cukup terawat dan sekel, kutaksir umurnya belum sampai 25. Aku bersepakat dengan John bahwa aku mengambil si adik dan John mengambil si kakak. Kami juga bersepakat untuk nantinya tukar, aku pakai kakaknya dan John pakai si adik.
Meski pun mereka tidak lagi bisa disebut remaja, tetapi wajahnya manis, jika ada yang pernah melihat wajah pesinden Jawa Sunyahni, ya kurang lebih seperti itu. Kakak dan adik lumayan cakep dan yang lebih penting bahenol.
Kedua mereka kembali pulang setelah kami tawari minuman mereka menolak. Selanjutnya kami dibawa kerumah si kakak beradik. Rumahnya agak di pinggir desa dan belakang rumahnya seperti ada suara sungai dan memang benar ada sungai yang lumayan lebar dan deras airnya.
Si kakak memperkenalkan diri bernama Purwanti dan adiknya Purwani. Di rumah itu mereka tinggal bertiga, yang seorang lagi adalah ibu mereka yang sudah cukup tua, tetapi masih kelihatan sehat. Kami sempat diperkenalkan. Dia tidak bisa berbahasa Indonesia, ya untung aku bisa sedikit ngomong Jawa. Dia bercerita bahwa masih mudanya dia adalah penari ledek tayub yang sering berkeliling ke banyak daerah, Kedua anaknya mengikuti jejak ibunya juga penari tayub.
Purwanti dan Purwani sekarang statusnya janda. Memang agak susah mempunyai istri yang profesinya seorang penari yang harus mampu menggoda lelaki. Kepiawaian menggoda itulah yang merupakan modal penting, karena dengan demikian akan diperoleh banyak duit melalui saweran.
“Sekarang makin sepi mas jarang ada tanggapan, abis dimana-mana pada sok alim,” kata si adik yang kelihatannya lebih lancar nyrocos.
Rumah mereka cukup lumayan bersih untuk ukuran desa, hanya modelnya berbeda dengan rumah desa di Pegaden, Subang. Di sini rumahnya model kaya joglo, sehingga kamar ada di kiri kanan dan ruang keluarganya ada ditengah dan tidak berjendela. Terasnya sangat leluasa selebar rumah di situ ada set kursi tamu sederhana lalu ada amben atau bale-bale. Di dalam ada seperangkat kursi tamu dan dibelakangnya ada meja makan.
Aku dan John sepakat memberi mereka uang jasanya di depan. Jumlahnya sudah kami ketahui dari tukang ojek pemandu tadi. Dengan gaya malu-malu mereka terima uang itu tanpa menghitungnya. Aku menambahkan lagi sedikit yang kusebut sebagai uang makan untuk makan nanti malam dan sarapan besok pagi.
“Waduh mas hari gini gak ada warung sayur yang jualan, nanti saya minta tetangga nangkep ayam dan digoreng aja sekalian,” kata Purwanti.
Dia lalu beranjak keluar halaman rumah dan menghubungi tetangga yang disuruhnya memasak ayam goreng. Sementara itu aku minta Purwani mengajak jalan-jalan ke belakang rumah dimana ada sungai. Kami melewati kebun yang ditanami ubi kayu alias singkong, ubi rambat atau telo, cabai rawit dan kacang panjang. Dibelakang kebun itu lah terdapat sungai yang airnya jernih dan mengalir cukup deras. Kami harus hati-hati turun ke bawah karena agak jauh juga kebawah sampai mendapatkan air sungai. Di situ ada tempat untuk cuci pakaian dan sekaligus mandi. “Mas kita nanti mandi sore di sini, lebih enak dari pada di sumur. Airnya seger,” kata Purwani.
Sekembali kami ke rumah sudah terhidang minuman hangat. “Mas nyobain ini minuman desa namanya wedang uwuh”. Di dalam gelas yang cukup besar terdapat daun-daun kering, kulit kayu dan rempah. Rasanya enak juga dan menyegarkan.
Kami berempat ngobrol berbagai hal sampai juga membicarakan kemungkinan kami nanti malam melakukan tukar guling. Kelihatannya mereka tidak keberatan. “Emang simasnya kuat ,” ujar Purwani.
“Eh masnya mau gak nyoba jamu desa, jamu godokan, kebetulan tetangga saya buat gituan, kalau mau saya ambilin,” kata Purwanti.
Aku yang memang suka jamu, oke-oke saja, tetapi John dia tidak suka rasa pahit jamu jadi dia menolak untuk coba-coba. “Eh mas nanti lemes lho,” kata Purwani.
Menemani minum wedang uwuh ada singkong rebus. Rasanya sih cukup asyik, apalagi kami makan di teras depan dengan pemandangan alam pedesaan dan bau semak daun-daun. Dari rumah tetangga yang agak jauh terdengar suara burung puter dan tekukur dan sayup sayup ada suara radio yang sedang mengumandangkan lagu-lagu Jawa.
Suasana desa begini sudah lama menjadi impianku. Tentram, meski sekarang terganggu oleh raungan suara sepeda motor. Sekitar jam setengah lima kami diajak mandi sore ke sungai di belakang. Aku mengenakan celana boxer, juga si John sedangkan mereka mengenakan kemben kain batik. Berbeda dengan adat di Subang, di sini mereka mandi masih pakai kain basahan. Badannya putih dan gempal.
Karena mereka tidak membuka kembannya aku pun mandi tetap mengenakan celana boxer. Air sungai yang jernih terasa segar sekali. Mereka mandi sambil main ciblon, dengan cara menepuk-nepuk air.
John memang anak terlalu kota, dia seumur hidupnya belum pernah tinggal di desa. Kalau pun tinggal di desa baru akhir-akhir ini saja karena kebetulan rumahnya yang dia beli kompleks BTN yang membebaskan sawah. Kalau menurut John rumahnya mewah alias mepet sawah.
Habis mandi badan kami segar sekali. Aku berganti celana dalam mengenakan sarung dan kaus oblong. Kami digiring masuk kedalam kamar masing-masing. Di dalam kamar ada tempat tidur besi yang diselubungi kelambu. Aku dipersilakan naik ke tempat tidur mengambil posisi di dekat dinding.
Purwani rupanya ingin memberi service pijatan terlebih dahulu aku diminta buka baju tinggal celana dalam saja tidur telungkup. Acara pijat ini memang paling aku sukai, karena badanku rasanya nikmat sekali jika dipijat.
Tangannya mulai merambah badanku, mulai dari bahu lalu turun ke pinggang lalu turun ke kaki. Badanku didudukinya. Dia masih mengenakan kemben, tetapi kulit punggungku merasa di balik kemben dia tidak mengenakan apa-apa lagi. Aku jadi makin syur.
Adegan telungkup berubah jadi telentang, seluruh permukaan badanku di jamah dengan pijatan-pijatan. Penisku menggembung di balik celana dalam, diacuhkan saja oleh Purwani. Sampai pijatan selesai terlihat titik-titik keringat di dahinya.
Badanku sudah segar dan menawarkan memijat dirinya. Mulanya dia malu menerima tawaran itu, tetapi setelah aku desak terus akhirnya dia menyerah. “ Mas e bisa mijet to,” katanya kurang yakin.
“Ya dicoba wae mbak,” kataku menimpali.
Dia tidur tengkurap, dan aku mulai melancarkan pijatan dari ujung kaki, naik ke betis, lalu ke paha. Melalui gerakan pijat kain sarungnya makin naik tinggi sampai kedua bongkahan pantatnya terlihat. Purwani berkali-kali memuji pijatanku. Aku memang agak peham titik-titik syaraf, termasuk titik syaraf birahi wanita. Ketika bongkahan pantatnya aku pijat, sebenarnya dia sudah mulai naik nafsunya, tetapi kelihatannya dia menahannya.
Aku berpindah dari bongkahan pantat yang gempal ke bahu. Lemak di bagian belakang tubuhnya lumayan kencang. Pijatan terus turun ke bawah sampai lagi ke bongkahan pantat.
Ketika dia kuminta berbalik telentang, Purwani berusaha menutup bagian kemaluannya dan kedua payudaranya dengan kemben batik. Aku kembali memijat dari ujung kaki terus naik secara perlahan-lahan ke paha. Paha bagian dalam adalah bagian kelemahan wanita. Jika bagian itu diberi tekanan lembut, dia akan merangsang pemiliknya. Memang ketika bagian itu aku sentuh, Purwani sudah mulai menggeliat. Dia sudah mulai terlanda birahi. Makanya ketika kain batiknya aku singkap ke atas dia sudah tidak peduli lagi.
Segitiga selangkangannya sudah terbuka dan aku bisa dengan jelas melihat jembut yang tidak terlalu lebat, tetapi istimewanya bagian kemaluannya membubung, Orang desa menyebutnya mentul. Aku memijat bagian pinggir kemaluannya lalu aku tekan-tekan bukit kemaluannya. dia sudah makin sering menggelinjang. Dengan gerakan sambil memijat, salah satu jari kelingkingku masuk kecelah kemaluannya. Terasa berlendir basah. Dia dipastikan sudah sangat terangsang.
Aku lalu memainkan clitorisnya, dia semakin menggelinjang gak karauan, aku memainkan dengan gerakan konstan dan sentuhan halus sampai dia mencapai orgasme yang ditandai dengan denyutan lubang memeknya. Setelah reda aku mencolokkan perlahan-lahan jari tengah dan jari manis ke dalam vagina sampai seluruh jariku terbenam. Setelah vaginanya terbiasa menerima kedua jariku aku memainkannya dengan mengocok dan kadang-kadang melakukan gerakan seolah mengangkat tubuhnya dengan kedua jariku. Purwani melolong-lolong nikmat sampai akhirnya dia menjerit nikmat. Badannya sampai ikut berkedut-kedut karena hentakan orgasmenya yang demikian kuat. Bukan itu saja, dari belahan vaginanya ada memuncrat berkali-kali cairan sampai mengenai hidungku. Dia mengalami orgasme vagina dan berejakulasi.
Akhirnya dia terkulai lemas, kembennya sudah gak karuan dan tidak lagi menutupi buah dadanya yang membengkak. “ Mas seumur-umur aku baru ngrasai enak yang kayak gini , sampai rasanya ada yang muncrat ya mas,” katanya.
Aku menciumi wajahnya yang sedikit berkeringat. Dia lalu memelukku erat sekali. “ Mas sudah tinggal di sini aja sama saya jangan pulang lagi, “ katanya .
Wanita yang baru mendapat orgasmenya yang dahsyat jika dilanjutkan dengan menciumi wajahnya seperti mencurahkan kasih sayang, dia akan sangat berkesan dan ingin selalu berada di dekat kita. “Mas awakku lemes banget he rasane, lan rada ngantuk,” ujarnya.
Aku yang sudah mencapai ketegangan top, tentu saja mengabaikan keluhannya, Kembennya aku buka sehingga di telanjang bulat lalu celanaku kulepas dan dengan posisi menindihnya aku mencolokkan penisku memasuki gerbang kenikmatannya.
Meski lubangnya terasa licin, tetapi karena cairannya agak kental, jadi rasanya rada megang tuh memek. Rasa vaginanya enak sekali. Aku terus bermain menggenjotnya. Mungkin karena dia baru saja mencapai orgasme dan merasa dekat dengan aku, dia cepat sekali mencapai orgasme berikutnya sampai akhirnya aku mencapai ejakulasi juga . Spermaku kulepas di dalam vagina dengan menekankan kemaluanku sedalam-dalamnya.
“Mas suwun yo mas sudah lama aku nggak dapet rasa nikmat yang begini, mas kok pinter banget sih, “ katanya.
Kami lalu beristirahat sebentar, sambil ngobrol. Dia katanya ngantuk sekali, ingin tidur sebentar. Aku terpaksa bengong saja menunggui dia tidur. Dengan bersarung, aku keluar mencari kamar mandi di dalam rumahnya. Disitu kucuci senjataku lalu mengenakan celana dalam dan mengenakan kaus oblong.
Ketika keluar aku berpapasan dengan Purwanti, “Mas temenmu ngorok, Wani mana, “ tanyanya.
“Ngorok,” jawabku singkat.
“Wah mas e pasti kuat lan pinter main e,” kata Purwanti mengambil kesimpulan singkat.
Jam sudah menunjukkan jam 8 malam, perut sudah mulai menghisap. Purwanti membangunkan Wani untuk membantunya menyiapkan makanan. Lauknya adalah ayam goreng dan sambel. Si John dengan mengusap-usap mata keluar dari kamarnya.
Ketika kurasai ayam gorengnya masih terasa bau amis ayam. “Mbak ayam nya kita buat soto saja ya.” Kataku.
“Mas aku gak punya bumbunya,” katanya.
“Tenang wae aku sing nggae,” kataku menyatakan siap membuat soto ayam seketika. Didalam ranselku ada 2 bungkus mihun jagung soto ayam, Aku minta mereka nyuir-suir ayamnya sementara aku merebus mihun. Sekitar 5 menit bihun rebus rasa soto sudah selesai dan kuletakkan dipanci dengan air yang berlebihan, lalu tambah garam sedikit, merica bubuk dan msg, sampai rasanya pas ketika kucicipi.
Nasi kami ditaburi suiran ayam lalu kuah soto dengan bihunnya kami tuang ke piring masing-masing. Nasi panas dan soto panas, tambah sambel bawang, wuih rasanya nikmat banget. “Eh mas e kok pinter yo mbikin soto cepet banget dan enak e nggak kalah karo warung soto,” kalau keadaan darurat memang harus gitu kataku.
Lho mas e memang pinter masak tho, tanya si Purwanti, aku jawab sedikit-sedikit bisalah. “Wah kebetulan besok lagi pasaran di desa, jadi banyak orang jualan, Besok kita belanja ya, terus mas e sing masak.
Di desa-desa di jawa, tidak setiap hari ada pasar, biasanya pasar diselenggarakan seminggu sekali. Ada yang mengikuti hari berdasarkan penanggalan masehi, tetapi kebanyakan mengikuti hari-hari jawa atau disebut naptu, Jadi ada pasar paing, disebut paingan, pasar legi ya legian. Aku tidak ingat di Kropak itu pasar apa.
Setelah makan bersama, termasuk si mbah ikut makan bersama, kami istrihat sambil makan angin, begitu istilahku, duduk-duduk di amben teras depan. Suasananya senyap sekali, hanya suara jangkrik dan macam-macam binatang lainnya yang terdengar.
Malam ini Nyonya rumah menyuguhkan kopi tubruk yang dicampur jahe. Rasanya pedes dan seger. Kopi adalah persiapan untuk kami tidur sampai larut. Menjelang jam 10 kami digiring masuk, kali ini swing, atau tukar peraduan, Aku masuk ke kamar kakaknya Purwanti, Purwani menyeret John memasuki kamarnya.
“Mas kata adi ku, si mas e pinter mijet yo,” kata Purwanti.
“Kalau mau dipijet, mesti mijet dulu,” kataku.
Aku pun lalu membuka semua baju termasuk celana dalamku. Itu aku lakukan karena ruang tidur kami agak gelap. Aku langsung tidur tengkurep.
“Eh mas e lha kok langsung telanjang yo.” Katanya sambil meraba-raba pantatku
“Iya dari pada repot nanti, toh akhirnya dibuka juga, “kataku.
Seperti ritual pijat biasa dan kemudian aku membalas dengan memijat dirinya. Si kakak ini malah cepet banget terangsangnya. Mungkin karena suasana gelap dia jadi merasa makin romantis. Ketika kucolok dua jariku dan mempermainkan gspotnya dia berteriak ketika orgasmenya datang. Kayak gak peduli, dan mukaku kena semprot pula pancaran ejakulasinya.
Aku juga memperlakukan Purwanti dengan penuh kasih sayang, kuciumi wajahnya yang baru saja dia mendapat orgasme tertingginya. “Mas tinggal seminggu di sini ya, gak usah kasi duit aku juga gak apa-apa, aku bakal kangen terus karo sampean,” katanya sambil memelukku erat sekali seolah-olah dia tidak rela melepas tubuhku.
Selanjutnya aku menggenjot tubuhnya sampai dia kembali kelojotan. Jamu godogan yang aku minum tadi memang membuktikan khasiatnya. Badanku tidak terasa capek sama sekali bahkan batangku tetap berdiri tegak 100%.. Si Purwanti kewalahan menghadapi aksiku sampai dia minta disudahi saja permainannya, padahal aku belum nyampe. Untuk mempercepat orgasmeku aku harus berkonstrasi penuh, sampai akhirnya sampai juga ke puncak dan tembakan kulepas di dalam liang kenikamatan yang terdalam.
Baru saja setengah jam istirahat, tiba-tiba si adik masuk dan langsung mengambil posisi tidur disebelahku, rasanya tempat tidur jadi sempit karena aku diapit di tengah. “ Lha kok kawanku ditinggal,” tanya ku.
“ Habis dia udah gak kuat main lagi mana langsung ngorok, ya udah aku tinggal aja kemarin, abis suarane si mbak tadi njerit, pasti keenakan ya,” kata Purwani.
Akhirnya aku setuju tidur bertiga tapi aku mengajukan syarat mereka dan aku semua tidur tanpa baju. Aku bilang biar gampang. Benar juga si adik belum sejam istirahat sudah mengelus-elus si Boy. Eh ditantang begitu dia langsung bangun dan siap bertempur lagi. Sebetulnya aku sudah rada males, tapi namanya kesempatan yang jarang ada, maka kubiarkan saja. Purwani tanpa malu-malu menaiki tubuhku dan memasukkan batangku ke vaginanya. Dia bermain sampai mencapai kepuasan dan akhirnya ambruk. Lalu tidur di sampingku. Kakaknya sudah tertidur dari tadi. Sementara barangku masih tegak berdiri, tetapi, karena mataku agak mengantuk maka kubiarkan saja dia bangun sendirian.
Pagi-pagi sekali aku sudah dikerubuti kakak beradik, Aku tersadar ketika penisku sudah menghunjam lubang kenikmatan Purwanti. Sementara itu si Adik menciumi dadaku setelah itu menyodorkan susunya minta diemut. Kedua mereka belum pernah punya anak sehingga putting susunya masih tidak terlalu besar.
Aku baru mengalami bahwa aku bisa kalah cepat bangun dibandingkan penisku. Sebab ketika aku bangun penisku sudah keras sehingga mampu masuk ke dalam sarang Purwanti. Purwanti kelihatan berusaha konsentrasi dengan permainannya sehingga dia lebih cepat mencapai orgasme. Begitu ambruk dan rebah di sampingku, posisinya digantikan oleh adiknya yang mengambil posisi WOT seperti kakaknya. Mungkin juga karena ada rasa sehati permainan mereka bisa semangat dan yang lebih penting mereka cepat mencapai orgasme.
Sampai Purwani ambruk aku belum mencapai orgasme, aku berpikir perlu menghemat tenaga . Sebab jika aku orgasme di pagi ini badanku akan lemas dan sepanjang hari nanti bakal ngantuk melulu. Cahaya matahari pagi sudah mulai menerobos celah-celah jendela.
Kakak beradik sudah terkapar dan kelihatannya mereka tertidur. Aku bangun keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Aku harus berterima kasih pada siapa pun yang punya gagasan mengganti minyak tanah dengan gas, sehingga dapur di desa yang jauh dari kota juga menggunakan kompor gas. Aku masak air di ceret lalu melihat persediaan makanan. Ada ikan asin, ada cabe hijau, bawang merah dan putih, dan tentunya terasi juga. Sedang aku di dapur muncul si mbah sambil bertanya kemana kedua anaknya. Aku katakan saja bahwa mereka belum bangun. Si Mbah bingung, karena kedua anaknya itu tidak biasa bangun kesiangan.
Dia membantu aku mengupas bawang lalu menguleknya dan menggoreng ikan asin. Aku lalu membuat nasi goreng sambal hijau dengan taburan ikan asin goreng kering yang sudah dipotel kecil-kecil. Aku sengaja membuatnya pedas. Seharusnya kalau ada telor bisa dibuatkan telor mata sapi.
Nasi goreng sudah siap tapi belum tersaji karena masih di kuali, dan air panas siap diseduh dengan kopi. Purwanti dan Purwani tergopoh-gopoh keluar kamar dengan hanya berkemben kain. Dia merasa malu, karena aku melakukan persiapan sarapan pagi, padahal seharusnya merekalah yang berkewajiban.
“Wah mas e luar biasa sampai aku ama wani kesirep, “ kata Purwanti malu. Dia meminta aku duduk saja di depan dan untuk selanjutnya dia yang akan ambil oper pekerjaan mempersiapkan makan pagi. Aku dan John sempat jalan-jalan di dekat-dekat situ melihat sekeliling. Penduduk di situ ramah-ramah. Mereka menegur kami ramah. Aku tidak jalan jauh-jauh lalu kembali duduk di teras rumah dua kakak beradik.
Sambil masih mengenakan kemben mereka menghidangkan nasi goreng ikan asin cabe hijau dan kopi tubruk. Mereka dan simbah ikut nimbrung makan. Kata mereka pedesnya pol, alias pedes banget, tapi enak. Si John yang tidak tahan pedes, terpaksa mencampur dengan nasi putih dingin.
Sehabis makan kami istrahat sebentar lalu beriringan menuju sungai di balakang rumah. Kali ini aku mandi telanjang saja, karena memang tempatnya agak terlindung. Akhirnya kedua cewek itu pun ikut-ikutan mandi telanjang. John jadi terpaksa telanjang juga dia. Tidak terjadi insiden di sungai, kecuali saling meraba dan menyabuni. Air sungai yang dingin membuat kami harus cepat-cepat.
Seperti yang mereka katakan kemarin, bahwa hari ini ada pasaran di kampung mereka. Wani menanyakan aku masih belum pulang hari ini. Aku jawab Iya.Dia lalu menanya kan aku ingin makan apa hari ini. Aku teringat masakan khas daerah perbatasan jawa timut jawa tengah adalah “ asem-asem balungan”. Ini masakan menggunakan daging kambing berkuah asam yang segar. Uniknya rasa asamnya diperoleh dari daun kedondong muda. Kata purwanti asem-asem adalah keahlian si mbah.
Kami berempat jalan menuju pasar yang berjarak sekitar 10 menit dari rumah. Pagi itu pasar sudah ramai orang berjualan macam-macam, mulai dari bahan makanan mentah sampai makanan matang dan jajanan khas desa seperti, tiwul, gatot dan berbagai nama lainnya yang aku lupa sebutannya.
Seharian itu kami menikmati masakan dan suasana keheningan desa yang damai dan tentram. Rasa nya tidak ada gairah ngesek, siang-siang. Karena selain udaranya panas, aku dan John sudah terlalu puas ngeseks selama ini. Malah sehabis makan siang aku ngantuk dan tertidur entah di kamar siapa. Mungkin John juga begitu.
Cukup lama juga aku tertidur, karena ketika bangun jam ditangan sudah menunjukkan pukul 4 sore.


Baca juga...



Kembali ke Beranda

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Pilih judul

Kategori

Pengunjung

Ditunggu kunjungnya kembali...