Klik disini untuk melihat judul cerita yang akan segera terbit !!
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 03 September 2014

Wisata seks IV

Bagikan :

Di bagian ketiga cerita saya sudah bercerita mengenai pengalaman saya bermalam di desa Kropak, Purwosari, Grobogan.

Hari ini adalah hari kedua aku berada di desa yang jauh dari mana-mana, kota terdekat adalah Purwodadi yang jaraknya sekitar 20 km. Desa yang sepi ini punya daya tarik tersendiri yang khas. Ini sudah aku ceritakan di rangkaian cerita ini di bagian ke tiga.
Aku menjelajah desa-desa berdua dengan temanku John. Namun dia hari ini akan mengakhiri petualangannya, karena ada telepon dari rumah yang mengabarkan orang tuanya dari kampung datang. Apakah alasan yang dikemukakan itu benar atau karangan saja, tidak perlu aku selidiki. Dari gerak tubuhnya dia memang sudah bosan dalam perjalanan ini. Dengan ojek dia kembali ke Purwodadi dan selanjutnya dia ke Semarang lalu terbang ke Jakarta.
Kini aku sendirian di tengah pedalaman kampung kecil di Jawa Tengah. Meski aku mulanya tidak kenal siapa pun dan ini adalah kunjungan pertama kesini, tetapi aku merasa tidak asing lagi, karena ada penduduk yang menampungku dan memperlakukanku dengan ramah. Aku seperti bersaudara dengan mereka.
Hari kedua aku di Kropak, ada kegiatan pasaran, sehingga suasana pasar cukup ramai. Hampir seluruh penduduk desa terutama yang wanita tumpah ke pasar pagi ini. Aku bersama kakak beradik Purwanti dan Purwani kami jalan-jalan cuci mata. Aku sudah mengepalkan sejumlah uang untuk mereka belanja seperti pesanan masakan yang kuinginkan, yaitu asem-asem balungan dari daging kambing.
Meski tadi pagi aku sudah sarapan nasi goreng, tetapi karena “lapar mata” aku kemudian membeli jajanan khas kampung untuk sekedar icip-icip. Meski yang dibeli cuma sedikit, tetapi karena bermacam-macam, jadinya banyak juga.
Purwanti berpapasan dengan seorang gadis yang berjalan dengan seorang yang sosoknya seperti ibunya, lalu mereka salaman dan berpelukan. Gadis itu memanggilnya bulik, berarti dia adalah anak dari kakak si Pur. Pakaiannya sederhana bahkan cenderung lusuh dan serampangan, rambutnya tidak modis sama sekali karena digelung. Tetapi aku menangkap gadis ini punya daya tarik yang kuat dan sesungguhnya dia ayu dan cantik, Mungkin karena kurang perawatan dan karena tinggal di kampung, jadi tidak ada tuntutan modis.
Purwanti memperkenalkan denganku. Dia menyebut namanya Arwani, panggilannya wani. Kami akhirnya jalan berlima. Tidak ada yang dibeli oleh Wani dan ibunya, Aku membaca dari raut mukanya dia tidak punya uang untuk belanja. Purwanti kukepali uang yang menurut ukuranku di Jakarta cukup untuk belanja sehari dengan lauk ayam untuk satu keluarga . Uang itu lalu segera diserahkan ke Arwani. Mulanya dia terkejut dan berbasa-basi menolak, tetapi akhirnya mengucapkan “ Terima kasih ya Oom”.
Benar juga setelah itu dia jadi aktif berbelanja. Kami kemudian berpisah dan aku di rumah Purwanti menikmati jajanan ku tadi. Sementara itu kedua Pur sedang sibuk di belakang menyiapkan masakan.
Ketika kami bersiap menikmati masakan asem-asem balungan, muncul anak cantik yang terpendam di desa, si Arwani. Dia dengan sepeda datang membawa bungkusan plastik. Ketika dibuka isinya adalah botok, masakan khas jawa yang terbuat dari kelapa dibungkus daun pisang dan dikukus. Menurut Wani itu adalah botok sembukan. Makanan yang sudah lama sekali tidak kunikmati. Si Wani malu-malu dan menolak ketika diajak makan bersama, tetapi akhirnya luluh juga dan kami sama sama menikmati asem-asem balungan yang memakai daun kedondong muda. Pintar juga kedua Pur ini memasaknya sehingga rasa asam dan pedas cabe hijaunya pas.
Selepas makan, badanku berkeringat sehingga aku memilih duduk di depan sendiri berangin-angin. Wani kelihatannya membantu Pur-pur membersihkan bekas makanan siang kami. Tak lama kemudian si Wani minta izin kembali pulang ke rumahnya.
Menurut Purwani, rumah si Wani lumayan jauh, kalau naik sepeda sekitar 15 menit an. “Mas si Wani minta dicarikan kerjaan, bapaknya kan sakit, jadi keluarga itu tidak ada yang menafkahi. “ kata Purwanti.
“Dulu dia punya suami tapi ya gitulah orang desa, jadi karena tidak sanggup menjadi sumber pemberi nafkah, akhirnya kabur dan cerai,” kata Purwanti. Menurut Pur si Wani kawin masih sangat muda mungkin masih sekitar 15 tahun. Dia ingat pada waktu itu baru lulusan SMP langsung kawin. Belum setahun sudah pisah.
“Kalau mas e berminat ntar saya kasih tau, gimana ?” tanya Purwanti.
Aku menerima tawaran itu tentu saja sejujurnya susah nolak. Tapi rasanya kan nggak enak juga sudah menggauli Purwanti dan Purwani bahkan tinggal di rumah mereka, lalu aku akan bermain pula dengan kenalan baru yang adalah keponakan mereka.
“Mas e kalau minat, kita ndak apa-apa kok, itung-itung saya nolong keponakan sendiri, biar si purwani nyiapke kamar e dan aku sebentar lagi jalan ke rumahnya,” kata Purwanti.
Aku tidak bisa berkomentar apa pun, serba salah rasanya mau bicara, mau nolak rasanya padahal ingin juga, mau nerima rasanya rikuh pula.
Aku berdua ngobrol dengan Purwani, dia menceritakan betapa beratnya kehidupan keluarga Arwani. Sejak orang tuanya sakit, maka ibunya dan arwani yang berusaha mencari nafkah dengan mengerjakan apa pun yang bisa menghasilkan. Aku mendengar cerita Purwani sambil pikiranku menerawang. Orang-orang desa yang sederhana ini dalam kehidupan yang serba pas-pasan, jika tulang punggung keluarganya terkena penyakit berat, maka kemiskinan siap menerkam mereka.
Entah berapa lama kami ngobrol berdua sampai muncul dua sepeda. Sepeda pertama dikendarai Purwanti, dan yang kedua Arwani membonceng wanita yang kelihatannya agak tua. Aku kemudian diperkenalkan bahwa wanita itu adalah ibunya Arwani. Wanita yang berusia menjelang 40 tahun. Bekas kecantikannya masih terlihat, tetapi karena kurang terurus jadi kelihatan seperti wanita desa biasa.
Ibunya lalu minta ke aku agar anaknya dicarikan kerjaan di Jakarta. “Biarlah dia kerja di Jakarta dari pada di kampung nggak ngapa-ngapain,” kata si ibu.
Pikiranku bukan soal kerjaan apa yang cocok, tetapi bagaimana menempatkan Arwani di Jakarta. Aku tidak bisa berkonsentrasi, karena harus meladeni pembicaraan. Sementara itu Arwani duduk tertunduk malu. Kuperhatikan, Arwani menyimpan potensi yang luar biasa. Dilihat rambutnya, cukup lebat dan lurus sebahu. Wajahnya ayu hidungnya cukup mancung lancip, dagunya sedikit terbelah, bibirnya tidak terlalu tebal, tetapi sensual, alisnya tidak terlalu tebal, leher jenjang kulitnya lumayan putih untuk ukuran orang desa. Nah teteknya kelihatannya agak melawan juga, karena baju longgar seperti daster masih ketendang sama susunya, sehingga menyembul.
Tingginya lumayan saya taksir sekitar 165 cm dan badannya tidak gemuk pula. Yah badan-badan anak teenager, tetapi cukup berisi dan yang saya kagum dia memiliki body dengan pinggang mengecil dan pantat agak menonjol. Sempurna sekali cewek desa ini. Kalau aku tolak sayang-sayang, ini adalah asset yang sangat berpotensi jadi Miss Indonesia.
Si Purwanti bisik-bisik sama ibunya Arwani. “Ya sudah biar saja si Wani nginap di rumah buliknya biar ajar kenal lebih dekat sama si oomnya, kan mau diajak kerja ke Jakarta,” kata si ibu.
Setelah kami ngobrol lagi, si Ibu pamit dan dia mengendarai sepedanya sendiri pulang ke rumah. Hari mulai sore, saatnya untuk mandi sore ke sungai di belakang rumah. Kami berempat lalu beriringan menuju tepian sungai.
Seperti biasa kami mandi dengan basahan, aku mengenakan celana boxer, sedang cewek-cewek mengenakan kemben. Dibalik kemben itu tercetak jelas, bahwa Arwani memiliki payudara ukuran yang cukup besar.
Tidak ada insiden, kami mandi seperti biasa dan Arwani makin berkurang rasa segannya kepadaku. Ternyata dia termasuk yang banyak bicara, alias cerewet juga.
Selepas mandi, sesampai kami dirumah, aku disuguhi kopi panas dan singkong rebus. Tidak lama kami bercengkerama, hujan deras turun. Purwani menggiring aku dan Arwani memasuki kamarnya. Ternyata kamarnya sudah rapi, Si Arwani disuruh Purwani memijat diriku. Dengan malu malu, jalan sambil menunduk Arwani yang mengenakan kaus oblong dan jarik. Setelah kami duduk di tepi ranjang Purwani keluar dan menutup pintu. Suasana pada mulanya agak kaku. Aku lalu mengajak Arwani berbaring bersebelahan denganku.
Rikuh juga aku memulainya, seperti menghadapi perawan, padahal ini janda, tapi masih muda. Akhirnya kuminta Arwani memijat. Dia mau tetapi beralasan, kurang mahir memijat. Aku lalu berjanji menuntunnya agar nanti pijatannya enak.
Dia mulai memijat kakiku dalam posisi aku telungkup. Sebetulnya dia lumayan mahir juga, tetapi aku tetap memberinya petunjuk. Sementara suara gemuruh dan hujan deras diluar membuat kami semakin romantis. Namun aku masih merasa agak sulit memasuki gerbang kemesraan.
Aku kemudian beralasan memberi contoh bagaimana cara memijat dan menekan titik-titik syaraf dan otot yang akan memberi kenikmatan. Mulanya Arwani segan, sehingga menolak aku pijat, tetapi setelah aku bujuk berkali-kali akhirnya dia nyerah juga. Dia tidur telungkup. Aku memulai dari pijatan di telapak kaki. Di sana ada beberapa titik yang kalau ditekan akan berasa sakit, ada juga yang membangkitkan birahi. Aku memijatnya selang-seling antara yang nikmat dan yang agak sakit.
Dari telapak kaki naik ke betis, maka terkuaklah betisnya yang langsing dan putih melepak. Telapak kakinya agak kasar karena mungkin dia sering tidak mengenakan alas kaki. Maklum orang desa. Jariknya aku singkap sampai lutut dan aku memijatnya dengan tekanan yang memberi kenikmatan dan meningkatkan gairah aku melumuri betisnya dengan hand and body lotion, sehingga licin. Setelah kedua betis, lalu tanganku menjalar ke atas tanpa menyingkap jariknya. Tanganku menelusuri pahanya dan melumuri dengan hand and body lotion. Pijatan dan tekanan di bagian paha terutama di bagian paha sisi dalam memberi rangsangan yang sangat tinggi bagi wanita. Oleh karena itu dia tidak mempedulikan ketika jariknya perlahan lahan tersingkap.
Akal sehatnya sudah mulai berkurang karena sebagian sudah dirasuki birahi. Celana dalamnya terlihat kumal terbuat dari kain katun. Jadi ada beberapa celah yang memberi pemandangan ke bagian dalam celana itu. Aku terus memijat dan menelusuri daging pejal pantatnya. Badannya terangkat angkat karena pengaruh nikmat birahi. Jariku mulai nakal menyentuh pinggir daging vaginanya, tetapi tidak sampai masuk ke celah. Wani sudah tidak peduli hartanya mulai terjamah oleh tanganku. Dia sudah “high”.
Jariku masuk ke celah yang ternyata sudah berlendir. Dia tidak menolak ada benda asing berada di celah kemaluannya. Jariku mengorek-ngorek celah itu dan mencari posisi clitorisnya. Dia terjingkat-jingkat ketika clitorisnya aku usap-usap.
Pelan-pelan celana dalamnya aku turunkan. Wani pasrah saja dan menuruti ketika aku lucuti. Dia pun melemaskan badannya ketika kuputar sehingga berposisi telentang. Matanya aku tutup dengan handuk kecil setelah itu aku mulai mengerjai clitorisnya. Pinggulnya makin berjingkat-jingkat jika jariku mengenai ujung clitorisnya. Sekitar 5 menit aku mainkan clitorisnya sampai akhirnya dia mencapai orgasme.
Ketika terasa vaginanya berkedut, aku langsung memeluknya dan menciumi pipi dan keningnya. Wani pasrah saja. Dia pun pasrah ketika bajunya kubuka perlahan lahan dan akhirnya BHnya pun terlepas. Wani sudah telanjang bulat.
Aku terkagum oleh bodynya yang luar biasa. Gumpalan susunya masih tegak menggumpal dan cukup besar untuk wanita seumurnya. Belakangan aku tahu dia mengenakan BH ukuran 36 cup C. Itupun tidak semua daging teteknya tertampung karena sebagian masih luber.
Pentilnya masih kecil, karena dia belum pernah hamil. Tanpa melepas moment yang bagus aku menjilati dan menghisap ujung payudaranya sambil yang sebelah aku remas perlahan-lahan . Wani sudah pasrah tanpa perlawanan. Perutnya masih rata dan yang aku kagumi adalah pinggangnya yang mengecil dan pinggulnya yang melebar. Bulu kemaluannya masih belum lebat. Aku ciumi perutnya lalu perlahan lahan turun dan akhirnya sampai ke bagian kemaluannya.
Arwani seperti tersadar ketika kemaluannya aku ciumi. “ Oom jangan oom aku malu dan jijik oom,” katanya.
Tentunya aku tidak bisa bicara, karena aku segera membuka kedua kakinya dan mulutku langsung membekap celah vaginanya. Kepalaku awalnya didorong untuk menjauhi vaginanya, tetapi ketika lidahku menyentuh clitorisnya dia menggelinjang dan lupa akan tugas tangannya yang mencegah aku menjilati kemaluannya. Dia semakin larut pada arus kenikmatan sampai akhirnya menjerit lirih karena orgasmenya .
Beberapa saat setelah orgasme aku langsung menancapkan senjataku ke lubang kenikmatan sampai kandas. Terasa mencekam lubang vaginanya. Aku lalu memompanya perlahan-lahan. Karena ketatnya lubang vagina itu, tidak sampai 5 menit aku sudah nembak spermaku di dalam vaginanya. Aku rasa dia belum mencapai orgasme melalui hubungan sex itu.
Aku biarkan sebentar sampai penisku menciut sampai akhirnya keluar sendiri dari sarang kenikmatan. Meski diluar hujan masih deras, tetapi aku merasa udara jadi gerah. Kami berbaring telanjang berdampingan.
Tidak sampai 10 menit, penisku sudah bangkit lagi dan minta disarangkan di lubang nikmat. Tanpa memperdulikan apakah Arwani sudah siap atau belum aku langsung menungganginya kembali. Penisku relatif lebih licin masuk ke celah vaginanya. Namun cengkraman lubang kenikmatannya tidak berkurang nikmatnya. Aku terus menggenjot sambil mencari posisi nikmat. Pada ronde kedua ini permainanku cukup lama. Arwani sempat mencapai orgasme sekali berikutnya aku mencapainya.
Beberapa saat kami menyelesaikan permainan dari luar terdengar suara yang meminta kami untuk makan malam. Aku mengenakan baju kaus oblong lalu bersarung tanpa mengenakan celana dalam dan Arwani mengenakan lilitan jarik, menggunakan atasan, tetapi aku cegah dia mengenakan BH. Dia awalnya merasa malu, tetapi setelah aku bujuk dia akhirnya mau menerima.
Aku keluar kamar diikuti Arwani, Aku langsung menuju kamar mandi di belakang dekat dapur untuk membersihkan kelaminku dari lumuran sperma dan cairan vagina Arwani. Setelah selesai Arwani bergantian masuk ke kamar mandi. Aku sengaja tetap berdiri di dekat pintu kamar mandi memperhatikan Purwani sedang menyiapkan hidangan. Dari dalam kamar mandi terdengar desiran pancaran kencing Arwani yang cukup nyaring.
Hujan belum reda meski pun tidak sederas semula. Kami makan dengan menggelar tikar di bawah. Rasanya nikmat sekali makan dengan duduk bersila mengelilingi hidangan di tengah. Suasana sejuk karena hujan, dilawan oleh hangatnya asem-asem balungan yang panas dan agak pedas.
Selepas makan malam yang amat nikmat aku duduk di teras dimana terdapat bale-bale. Aku menyaksikan derasnya hujan dan sesekali kilat menerangi rimbunnya halaman depan rumah di pedesaan. Tak lama kemudian menyusul 3 wanita mengerubungi ku. Aku sudah seperti raja minyak dengan 3 istri yang siap melayaniku di ranjang. Mereka semua manja-manja mendekat dan duduk di sekitarku. Kami ngobrol “ngalor -ngidul” artinya tanpa fokus.
Purwanti membuka pembicaraan dengan mengatakan bahwa malam ini kami berempat tidur bersama-sama di kamarnya. Aku sejujurnya sudah tidak bergairah lagi bermain di ranjang, karena selama dua hari ini sudah terlalu banyak “bermain”.
Aku disodori jamu godokan, yang katanya untuk menambah kesehatan laki-laki. Rasanya agak pahit, tapi aku telan semua lalu meminum sisa kopi trubruk. Sepuluh menit setelah itu badanku mulai terasa panas, sehingga tidak merasa sejuknya suasana hujan malam. Bukan itu saja, senjataku perlahan-lahan bagun pula, meskipun tidak bangun terlalu mengeras, tetapi cukup berisi lah.
Sekitar jam 10 malam, kami berempat masuk ke kamar Purwanti. Di kamarnya digelar dua kasur lebar di lantai. Mereka jika tidur hanya menggunakan kemben dari kain batik. Si Wani juga begitu. Aku tidak merencanakan apa-apa menghadapi 3 perempuan ini. Aku akan pasrah saja apa yang akan mereka lakukan terhadapku.
Mereka rupanya berinisiatif memijatku secara bersamaan bertiga, Seluruh pakaianku dibuka kecuali celana dalam dan posisiku telungkup. Terasa setiap bagian yang memijatku berbeda-beda, ada bagian kaki kiri, ada bagian kaki kanan dan ada bagian tubuh.
Nikmat sekali menjadi suami beristri tiga sekaligus yang rukun dalam satu ranjang. Mereka semua patuh-patuh dan melayani dengan sepenuh hati. Tidak ada yang ingin menguasai. Seandainya aku mempunyai istri-istri yang begini, nikmat sekali kehidupan rumah tanggaku.
Mungkin mereka akur dan rukun karena masih baru, jika sudah lama-lama bisa saja timbul rasa saling iri dan berprasangka yang keliru.
Sambil dipijat kami mengobrol. Dari obrolan itu Wani menyebutkan dia masih mempunyai adik yang baru lulus SD. Sudah setahun nganggur, tidak sekolah karena alasan tidak ada biaya. Meskipun sekolah gratis, tetapi bagi orang desa tetap merasa berat membiayai transport, uang jajan, baju dan berbagai kelengkapan sekolah.
Seketika itu aku tawari untuk ikut ke Jakarta, untuk menemani kakaknya tinggal di Jakarta. Wani merasa senang lalu menciumi ku. Ternyata dia bertugas memijat tubuhku bagian atas. Jangan berpraduga bahwa kelak aku akan ngembat adiknya juga. Sejujurnya pada waktu itu aku hanya merasa kasihan saja. Mereka berdua akan aku sewakan apartemen studio di Jakarta dan keduanya akan kuusahakan melanjutkan sekolah.
“Jangan seneng-seneng dulu, anaknya belum tentu mau, dan mbok mu juga belum tentu mengizinkan,” kataku sambil bertelungkup.
Bosan telungkup aku berbalik telentang. Celanaku menggelembung. Si Purwanti langsung saja menarik celanaku sehingga aku bugil. Tanpa basa-basi dia menggenggam penisku yang memang sudah menegang. Tangannya mengocok perlahan-lahan.
Tak puas mengocok lalu dia mulai mengulumnya. Aku pasrah saja, sementara itu si adik Purwani memijat-mijat kaki kiriku dan Arwani memijat tangan kananku sambil duduk termangu melihat aksi nekat buliknya mengulum penisku.
Lama juga dia mengulum penisku yang sudah semakin menegang, sehingga dia lelah. “ Ayo do dibuka kabeh, mesakne si oom e wudo dewe,” kata si Purwanti yang artinya kira-kira ayo kita telanjang semua, kasihan si oom telanjang sendiri.
Purwani berdiri lalu membuka kembennya dan di dalamnya masih ada celana dalam lalu ia plorot kan. Kini dia sudah bugil. Suasana cahaya kamar agak remang-reman sehingga tidak jelas betul detil body mereka satu-persatu. Si Arwani dengan gerakan malu-malu melepas kembennya dan celana dalamnya, dia pun kelihatan bugil. Purwanti berdiri melepas kuluman di kontolku lalu melepas semua bajunya. Kontolku dilahap adiknya si purwani. Arwani kutarik dan kuciumi susunya yang sangat tebal, kenyal dan besar. Aku bergantian menyedot pentilnya, sambil tanganku meraih selangkangannya memainkan clitorisnya.
Aku tidak jelas siapa yang melakukan, karena merasa penisku sudah tenggelam di satu memek. Dia langsung bermain cepat dan dari suaranya aku mengenali bahwa itu adalah suara Purwanti. Dia bergoyang dan asyik sendiri. Diaturnya sendiri posisi nikmatnya sampai akhirnya dia berhenti dan berasa denyutan di memeknya yang mencengkeram penisku. Aku tidak merasa terlalu nikmat, biasa saja. Selepas itu aku merasa Purwanti berdiri lalu posisinya digantikan Purwani. Dia bergerak dengan penuh perasaan, tetapi diiringi dengan rintihan nikmat. Tampaknya Purwani berusaha konsentrasi menikmati senggama denganku. Badannya penuh keringat karena dia sudah menderaku lebih dari 10 menit. Gerakannya lalu makin cepat dan akhirnya dia merintih bersamaan dengan denyutan di liang vaginanya.
Purwani ambruk di sebelah kakaknya. Aku lalu mengarahkan si Arwani mengambil posisi sama dengan buliknya. Dia menuruti saja dan dengan bantuan tangannya mengarahkan penisku masuklah ke dalam lubang kenikmatannya. Vagina miliknya memang berbeda jepitannya. Hanya saja dia belum mahir bermain diatas, sehingga gerakannya masih kaku. Namun rasa nikmat rupanya yang menuntun ritme gerak dan memperbaiki posisinya. Tanpa sadar dia mengerang sambil seperti mengaduk memeknya di kontolku.
Sementara itu aku menikmati pemandangan guncangan buah dadanya yang besar. Aku meremas-remas dengan kedua belah tanganku. Meski pun dalam keremangan tetapi aku bisa jelas melihat bentuk payudaranya yang nyaris sempurna. Akhirnya dia menjerit, dan ini kali agak keras pula sehingga kedua buliknya terjaga. “ Wani edan mbengok-mbengok dewe,” kata Purwani. Maksudnya, gila si wani menjerit-jerit sendiri.
Sampai 3 wanita itu orgasme aku sama sekali maih jauh dari puncak kenikmatanku. Tapi aku malas untuk bermain di atas terhadap salah satu dari mereka, sehingga aku biarkan saja penisku tetap tegang sementara ke tiga perempuan itu sudah terbaring kelelahan di dera orgasmenya sendiri. Mungkin ini pengaruh dari jamu yang aku minum tadi, dia selain mempercepat ereksi dan mempertahankannya sehingga tetap keras, juga seperti membuat penisku imun yang membuatnya mampu bertahan lama.
Untuk mengendorkan tegangan di penisku aku bangkit dengan mengenakan sarung dan oblong, keluar kamar mereguk segelas air putih dan ke kamar mandi melepaskan sebagian cadangan air seni. Lalu mencuci seputaran penisku. Benar juga penisku agak mengendur. Aku kembali ke kamar dan melihat hamparan wanita bugil tidur sesukanya.
Pagi harinya aku terbangun karena merasa ada yang bermain kuda-kudaan di atasku. Ternyata dia adalah Arwani, sementara itu yang lain sudah tidak terlihat. Aku berkonsentrasi sampai arwani mencapai orgasmenya dan segera aku balikkan posisi. Sekarang giliran aku menggenjotnya sampai akhirnya aku mampu melepaskan sperma.
Setelah itu kami bersama-sama menuju sungai mandi sambil bersenda gurau. Terasa tidak ada jarak diantara kami demikian juga diantara mereka. Nikmat sekali rasanya mandi bagai dikelilingi 3 istri yang rukun dan akur.
Hari itu aku berencana meninggalkan desa Kropak. Arwani sudah memutuskan untuk ikut denganku ke Jakarta, tetapi dia masih ingin bicara dengan keluarganya mengenai rencana memboyong adiknya juga. Arwani meminjam sepeda Purwanti pagi itu pulang ke rumahnya. Sedang kami masih mempersiapkan sarapan pagi. Purwanti pagi itu menyiapkan sarapan tiwul yang berwarna coklat dan rasanya agak manis dengan parutan kelapa, serta cenil. Katanya dia beli di warung yang memang selalu menjual jajanan setiap pagi.
Aku sudah siap berangkat, tetapi masih menunggu Arwani. Purwani mengambil inisiatif agar kami mendatangi rumah Arwani dengan menggunakan ojek. Dua sepeda motor sudah datang dan aku dibonceng sendiri, sedang Purwanti dan Purwani bertiga dengan tukang ojeknya meluncur ke rumah Arwani.
Kesan pertama ku melihat rumah keluarga Arwani adalah mengenaskan. Rumahnya terdiri dari dinding anyaman bambu, sangat sederhana, ketika masuk ke dalam rumahnya yang tidak terlalu besar, lantainya diperkeras oleh semen. Tidak ada barang berharga yang berarti di dalam rumahnya, kecuali TV 12 inci. Arwani dan ibunya menyambutku lalu seorang bapak tua datang pula menyalamiku, Dia adalah bapak si Arwani, lalu datang gadis kecil menyalamiku dan mencium tanganku. Dia adalah adik Arwani memperkenalkan diri dengan menyebut namanya Rachmawati.
Adiknya juga berwajah manis ayu, umurnya kutaksi masih sekitar 13 tahun. Arwani menyatakan bahwa ibunya setuju melepas Rachma ikut dengan Arwani ke Jakarta. Si gadis kecil itu pun mengangguk ketika kutanya tentang akan ke Jakarta.
Mereka bersiap-siap-siap sejenak dan keluar dengan baju yang rapi, meskipun masih terpancar kesederhanaan. Mereka membawa satu kardus bekas mi instan. Semua pakaian mereka dibawa dalam kardus itu. Aku mengelus dada melihat kemiskinan nyata di depanku. Aku jadi berandai-andai, mungkin jika aku makan di restoran Jepang di Jakarta, nilai uang yang harus kubayar bisa untuk mereka hidup sebulan.
Aku membuka tas ranselku, di tempat tersembunyi masih ada sisa uang di situ. Uang itu masih satu gepok di dalam amplop. Dengan disamarkan bungkusan koran aku serahkan segepok uang seratus ribuan ke ibunya. Ibunya memegang bungkusan itu, menerimanya lalu dia memelukku dan menangis di dadaku. Padahal dia tidak tahu berapa nilai uang yang aku berikan, tetapi tangannya sudah meraba bahwa uang yang aku berikan terasa tebal.
Tukang ojek yang akan membawaku dan Arwani serta adiknya sudah menunggu di depan. Kami bersalaman dan Purwanti serta Purwani memelukku sambil melelehkan air mata. Mereka menuntut agar aku harus datang kembali ke rumah mereka.
Perjalanan pulang memang tidak terasa lama. Kami sudah berada di terminal bus Purwodadi Grobogan. Bergegas kami bertiga menuju bus yang siap berangkat ke Semarang. Lumayan cepat juga, karena belum 3 jam bis sudah tiba di Semarang. Aku tidak turun di terminal, tetapi di jalan di dalam kota Semarang, dimana banyak penumpang turun disitu. Kami bertiga mencegat taksi dan meminta sopir mengantar ke sebuah hotel di Simpang lima
Bagi Rachma ini adalah perjalanannya pertama ke Semarang, tetapi Arwani sudah 3 kali katanya ke semarang, meski yang terakhir sudah lama sekali. Untung kami dapat room di Hotel yang berada di wilayah Simpang Lima Semarang, Sebuah kamar Executive.
Setelah bellboy yang mengantar kami keluar, aku membrief mereka berdua mengenai berbagai fasilitas di kamar, mengenai AC, kunci kartu magnetik, menghidupkan dan mengatur siaran tv. Setelah itu aku berpindah ke kamar mandi, mengenai bagaimana menggunakan semua fasilitas di kamar mandi itu. Aku agak terperanjat juga karena salah satu dinding kamar mandi hanya dibatasi oleh kaca buram. Jadi siapa pun yang berada di dalam kamar mandi akan terlihat dari tempat tidur, meski pun tidak jelas benar, tetapi tetap saja terlihat ketika sudah telanjang.
Setelah kami menyegarkan diri dengan minum di mini kulkas, kami memutuskan turun dan menuju pusat perbelanjaan. Aku berniat mendadani mereka berdua agar lebih modis. Mereka agak canggung memilih pakaian mereka sendiri. Aku pun sebenarnya kurang paham mengenai pakaian wanita. Dengan mereka-reka saja aku memilihkan mereka masing-masing 2 celana jean, kaus oblong, tank top, celana pendek, daster, sepatu, sendal, sepatu kets, pakaian dalam beberapa stel. Nah mengenai pakaian dalam ini aku tidak bisa memberi saran. Aku hanya berpesan kepada SPGnya agar mereka membantu memilihkan untuk kedua anak cewek itu.
Setelah tentengan berat di kiri dan kanan, kami kembali ke hotel. Mereka membereskan belanjaannya dan melipat serta memasukkan ke traveling bag masing masing yang baru. Sementara itu aku mandi menyegarkan tubuh dan berendam di bath tub. Hampir setengah jam aku berendam dengan air hangat dan badan sudah terasa segar kembali serta rasa lelah menjadi hilang. Giliran mereka aku suruh mandi. Mereka agak malu-malu terutama si Rachma. Akhirnya mereka berdua masuk kamar mandi. Sebelumnya aku sudah arahkan mereka agar tetap menjaga lantai kamar mandi tetap kering.
Dari kaca buram aku menyaksikan keduanya mandi dengan shower di bak bath tub. Meski tidak terlalu jelas, tetapi aku mendapatkan pandangan shiluet.
Mereka keluar dengan baju barunya, celana jeans dan kaus merah serta pink. Meski bajunya sudah modis, tetapi tetap saja mengesankan tampang ndesonya. Kami turun kembali dan menuju mall. Tujuanku pertama adalah salon, untuk menata rambut mereka.
Sekeluar dari salon baru muncul kecantikan sesungguhnya dari mereka. Karena sudah terlalu lapar kami kemudian mencari makanan yang kiranya cocok. Agar memudahkan kami menuju gerai fried chicken.
Kedua mereka memang sudah kelihatan modis, dengan baju yang selaras, tas kecil, hanya make upnya yang belum ada. Untuk itu aku kurang ahli, nanti saja di Jakarta mungkin lebih pas. ***


Baca juga...



Kembali ke Beranda

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Pilih judul

Kategori

Pengunjung

Ditunggu kunjungnya kembali...